HEADLINEKALTIM.CO, PENAJAM – Matahari sore mulai turun ke ufuk barat ketika Fifi dan rombongan tiba di perairan semi tertutup Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara. Dengan dua perahu motor milik warga, sepuluh anggota rombongan itu menyusuri estuari, membelah tenangnya perairan yang dikelilingi oleh pohon-pohon mangrove. Sepuluh menit berlalu, dan di sepanjang sisi kiri dan kanan, tegakan mangrove menjadi saksi perjuangan lingkungan yang mereka emban.
Bagi Fifi, yang juga pengurus Yayasan Planet Urgensi Indonesia (YPUI), kawasan ini bukan sekadar tempat singgah. Bersama timnya, ia telah mendedikasikan waktu dan tenaga untuk merestorasi hutan mangrove yang kian terancam akibat konversi lahan menjadi tambak. Di balik hijaunya mangrove di Pulau Tanjung Tanah, terbentang cerita panjang degradasi lingkungan yang kini mengancam eksistensi salah satu primata endemik kebanggaan Kalimantan: Bekantan.
Babulu Laut adalah salah satu lokasi penting bagi habitat Bekantan di pesisir Kalimantan Timur. Namun, data Yayasan Planet Urgensi Indonesia (YPUI) menunjukkan bahwa sejak 1995, pembukaan lahan mangrove untuk tambak di wilayah ini terjadi secara masif. Konversi ini tidak hanya memicu intrusi air laut ke daratan, tetapi juga mengakibatkan abrasi yang parah.
“Dampaknya sangat besar. Habitat Bekantan menjadi terfragmentasi, mereka kehilangan tempat tinggal dan sumber pakan,” ujar Fathurahmah, koordinator program YPUI untuk wilayah Kaltim. Saat ini, hanya tersisa dua kantung habitat Bekantan di kawasan mangrove Babulu Laut, masing-masing berjarak belasan kilometer.
Keadaan ini membuat populasi Bekantan semakin terisolasi. Peneliti primata dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Tri Atmoko, menegaskan bahwa fragmentasi habitat menjadi ancaman besar bagi kelangsungan hidup primata ini. “Populasi kecil yang terisolasi di habitat-habitat kecil membuat daya tahan populasi menjadi rendah,” ungkap Tri.
Bekantan, dengan bulu kecokelatan dan hidung besar yang menjadi ciri khasnya, adalah primata yang bergantung pada daun-daun mangrove sebagai sumber pakan utama. Di Babulu Laut, mereka hanya dapat menghuni sekitar 20 persen dari luas hutan mangrove yang tersisa, yaitu sekitar 70 hektare. Dengan status endangered (genting) menurut IUCN, kondisi ini menjadi tantangan serius untuk keberlanjutan spesies primata endemik Kalimantan tersebut.
Kamis sore, 9 Januari 2025, Fifi bersama timnya yang terdiri dari YPUI, Pokja Pesisir, dan beberapa jurnalis melakukan pengamatan langsung ke kawasan hutan mangrove Babulu Laut. Namun, pencarian mereka belum membuahkan hasil. Bekantan, yang terkenal pemalu dan waspada, seakan menghilang di balik rimbunan pohon.
Esok harinya, Jumat 10 Januari 2025, pengamatan kembali dilakukan dengan menyusuri kawasan hutan yang lebih dalam. Kali ini, keberuntungan berpihak. Dari kejauhan, tampak beberapa Bekantan kecil melompat dari dahan ke dahan. Tidak jauh dari sana, seekor Bekantan dewasa memanjat pohon, memantau kelompoknya yang sedang beraktivitas.

“Menyaksikan mereka langsung di alam liar memberikan harapan. Namun, tantangannya sangat besar mengingat kondisi habitat yang semakin menyempit,” ujar Fifi.
Krisis yang dihadapi Bekantan di Babulu Laut tidak lepas dari kontribusi masyarakat yang selama bertahun-tahun mengkonversi hutan mangrove menjadi tambak. Namun, upaya rehabilitasi mangrove kini mulai menunjukkan titik terang.
Wasmin, seorang petani tambak setempat, menjadi salah satu contoh masyarakat yang turut berperan dalam pelestarian mangrove. Ia memanfaatkan sebagian lahannya untuk menanam mangrove di tengah tambaknya. “Dulu saya gagal panen karena keasaman lahan. Sekarang, setelah ada mangrove, hasil panen ikan saya bisa mencapai satu ton,” ujarnya.
Sejak September 2024, YPUI bersama masyarakat dan mitra lainnya telah menanam 75.000 pohon mangrove di kawasan Babulu Laut. Jenis mangrove yang ditanam, seperti Sonneratia, dipilih karena menjadi salah satu sumber pakan utama Bekantan. Selain itu, pemerintah desa turut mendukung dengan membuat peraturan desa yang melarang perusakan mangrove. “Jika ada yang melanggar, mereka harus menanam mangrove 10 kali lipat dari jumlah yang dirusak,” kata Pirman, Sekretaris Desa Babulu Laut.
Tidak hanya Bekantan yang bergantung pada keberadaan mangrove. Lutung Kelabu, Monyet Ekor Panjang, serta berbagai jenis burung juga menjadikan hutan mangrove sebagai habitat alami mereka. “Mangrove ini adalah benteng bagi masyarakat pesisir, rumah bagi keanekaragaman hayati, dan penyokong ekosistem perairan,” jelas Fathurahmah.
Selain melindungi dari abrasi dan intrusi air laut, mangrove juga menjadi tempat pemijahan ikan-ikan yang penting bagi ekonomi masyarakat sekitar. Keberadaan hutan ini memberikan manfaat ekologis, ekonomi, dan sosial yang sangat besar.
Dengan populasi Bekantan yang diperkirakan hanya tersisa 27 individu di Babulu Laut, upaya pelestarian habitat mereka tidak dapat ditunda lagi. Fifi dan tim YPUI, bersama masyarakat dan mitra lainnya, berkomitmen untuk melanjutkan rehabilitasi mangrove.
Artikel Asli baca di Antaranews.com
Berita Terkini di Ujung Jari Anda! Ikuti Saluran WhatsApp Headline Kaltim untuk selalu up-to-date dengan berita terbaru dan Temukan berita populer lainnya di Google News Headline Kaltim