HEADLINEKALTIM.CO, SAMARINDA – Rancangan Undang- Undang (RUU) Omnibuslaw Cipta Kerja telah disetujui dalam Rapat Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama pemerintah dan DPD RI pada 3 Oktober 2020 malam.
Hal ini mendorong sejumlah organisasi buruh akan melakukan mogok nasional sebagai bentuk penolakan pengesahan RUU tersebut menjadi Undang-Undang.
Di Kaltim, tak ketinggalan organisasi buruh bersama kelompok pemerhati lingkungan hidup kini melakukan konsolidasi turut menolak RUU yang merugikan nasib buruh tersebut.
Sekretaris DPD Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Kaltim Sultan Loren Nana menjelaskan RUU Cipta Kerja membuat masa depan buruh semakin suram yang berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan hidup di daerah.
“”Sehingga kami akan menyerukan penolakan RUU Cipta Kerja kepada pimpinan DPRD Kaltim dan Gubernur untuk diteruskan ke pemerintah pusat,” ujar Sultan dihubungi media ini, Senin 5 Oktober 2020.
Dikatakan Sultan, masa pandemi COVID-19, SBSI Kaltim tak bisa memaksakan buruh untuk melakukan aksi mogok. Karena, kehidupan buruh yang semakin sulit.
“Buruh saat ini banyak yang berkurang jam kerjanya karena ada COVID-19. Bahkan, gajinya ada Rp 1 juta per bulan tak cukup untuk biaya hidup keluarganya. Jadi kami tak bisa paksa mereka mogok,” kata Sultan.
SBSI Kaltim, dikatakannya, terus melakukan koordinasi dengan SBSI pusat di Jakarta terkait rencana aksi penolakan RUU Cipta Kerja.
“Disetujuinya RUU Cipta Kerja agar disahkan menjadi UU pada rapat paripurna oleh DPR RI dan pemerintah bentuk arogansi yang hanya berpihak kepada pengusaha. Hanya fraksi Demokrat dan PKS yang menolak dan tidak menyetujui RUU Cipta Kerja,” kata Sultan.
RUU Cipta Kerja ditolak oleh SBSI Kaltim karena akan mempersulit masyarakat mendapat pekerjaan dengan dipermudahnya tenaga asing masuk Indonesia.
Selain itu, sistem kontrak kerja akan merajalela di setiap perusahaan yang membuat buruh atau pekerja tak menentu masa depannya.
Diketahui bersama, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS di DPR RI menolak adanya RUU tersebut karena tidak memiliki nilai urgensi dan kegentingan yang memaksa di tengah krisis pandemi COVID-19.
Perumusan dan pembahasan RUU yang memicu pro dan kontra itu dianggap bukan prioritas utama. Negara mestinya harus orientasi pada upaya penanganan pandemi. Khususnya menyelamatkan jiwa manusia, memutus mata rantai penyebaran COVID-19 serta memulihkan ekonomi rakyat.
Selama pembahasan RUU juga dinilai tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja dan jaringan civil society yang akan menjaga ekosistem ekonomi dan keseimbangan relasi tripartit antara pengusaha, pekerja dan pemerintah.
RUU ini berpotensi memberangus hak-hak buruh di tanah air dan ini menggeser semangat Pancasila karena mendorong ekonomi menjadi kapitalistik dan neoliberalisme.
Penulis : Amin