HEADLINEKALTIM.CO, JAKARTA – Ini kisah tentang seseorang yang memenuhi panggilan jiwa. Hendak menebar manfaat kepada sesama. Memilih meninggalkan kesenangan bacaan dan irama kehidupan intelektual di tanah rantau. Memilih pulang kampung. Jadi petani. Gerangan apa yang hendak dilakukannya?
Berdomisili di Kecamatan Galesong, Â Kabupaten Takalar- berjarak 30 Km dari Kota Makassar, pria bernama Ahmad Husain membiarkan jari-jarinya menghitam bersama tumpukan arang sekam. Diterpa asap bakaran dan terik matahari, wajahnya yang dulu berkutat dengan klaim-klaim peradaban, kini semakin legam.
Jauh sebelum ramai orang berburu penghasilan dari Google Adsense, jadi Youtuber, belajar algoritma dan kata kunci yang populer dalam mesin pencari, Ucheng, sapaannya, sudah melek lebih dulu. Para pengguna jasa digital marketing di Kota Malang, Jawa Timur, sudah jadi langganannya semasa dia masih duduk di bangku kuliah.
Ucheng melayani jasa profesional di bidang iklan dengan mengelola beberapa blog. Aktivitas yang bermula dari kesenangan blogging. Sesuatu yang memberinya jeda menyenangkan dari rutinitas sebagai mahasiswa Fisipol Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang.
“Rasanya dulu sampai overdosis membuat konten untuk blog. Saya dapat pemasukan dari jasa pembuatan web blog dan jasa optimasi SEO. Bisa dibilang saya dulu internet marketer, hanya tidak fokus, sekadar mencari tambahan. Berlangsung dari tahun 2009 sampai 2016,” ujar anak dari Drs. Batoto, seorang Kepala SD di Kota Makassar ini.
Takkala mengikuti program KKN di kampus pada tahun 2012, ia larut dalam salah-satu wacana tentang pertanian berkelanjutan. Ada hal yang sangat penting dan jadi tantangan di masa depan; krisis pangan. Perihal yang dipengaruhi oleh meningkatnya populasi manusia, berkurangnya lahan pertanian, serta masalah regenerasi petani.
Melihat pemandangan langsung petani dengan segala kondisi dan kekurangannya, dia terpanggil. Keinginan muncul di benaknya untuk terjun dan terlibat menjawab persoalan pelik pertanian. “Ini sangat menarik bagi saya, kesadaran saya tergugah. Ternyata banyak sekali hal yang kita sia-siakan, terutama di kampung saya di Takalar. Bersemangat dengan menerapkan sustainable farming, sebuah usaha untuk mempertahankan kehidupan manusia. Mengingat pangan adalah hajat utama untuk hidup,” ujarnya pada Headlinekaltim.co.
Kiprahnya membantu petani di Takalar membuatnya jadi perhatian. Jejaknya pada 2015 lalu. Petani muda dari Dusun Mario, Desa Parangmata, Kecamatan Galesong ini masuk dalam rubrik Koran Tempo. Itu hasil dari petisi penggalangan dana pembangunan jembatan buat petani yang digaungkan dari blog pribadinya www.orangbiasaji. net.
Dia memajang tajuk “Penggalangan Dana Online untuk Petani”. Soalnya, petani setempat hanya mengandalkan sebatang pohon kelapa untuk menuju lahan persawahan mereka. Upaya Ucheng diapresiasi Wakil Ketua DPRD Takalar saat itu, Hairil Anwar.
OMZET PULUHAN JUTA, DULU DITERTAWAKAN
Dunia butuh orang idealis di tengah rupa-rupa wajah oportunis agar warna pelangi tetap muncul dengan cantik di ujung pematang sawah. Saat hujan usai menderu-deru, musuh paling tangguh adalah diri sendiri.
Ucheng larut dalam semangat menggebu saat memutuskan diri untuk jadi petani. Bekal utama suami Umi Kalsum ini hanya ilmu komunikasi, tanpa seember ilmu pengetahuan tentang bertani. Awalnya, ia tertegun sendiri. Menyadari ada yang kurang.
“Saya tidak ada pengetahuan dan keterampilan dalam bertani. Ada lahan milik orang tua yang saya bisa digarap, tetapi saya tak bisa menggarapnya sebagaimana keinginan hati. Sekalipun terus berusaha meyakinkan diri, tetapi saya bukan orang yang meyakinkan dalam dunia pertanian. Jadi bahan tertawaan orang-orang. Katanya, jauh-jauh sekolah ke tanah orang, pulang jadi petani,” kenangnya, soal lekukan hidup paling tajam dan menentukan itu.
Di tahun-tahun awal, ia belajar dengan keras jadi buruh tani di lahan milik keluarga. Mengolah lahan tanpa konsep sustainable farming. Dari anak muda yang lemah fisik, Ucheng jadi lebih kukuh. Mengayun cangkul, membajak, lantas memiliki gabah hasil panen, semakin dia nikmati.
Namun, setiap kali menyeruput kopi hitam di malam hari, otak Uceng berputar kencang. Jika hanya menggarap lahan seadanya, buruh tani tak bisa mengubah nasib. Masa depan yang cerah jauh panggang dari api. Maka, dia mulai menentukan arah bisnis pertanian, dan berdiskusi dengan kawan-kawannya mengenai pertanian yang berkelanjutan.
Matanya tertumpuk pada arang sekam. Dengan modal sebesar Rp 50.000, ayah dari M. Firdaus Nusantara, Lubna Adawiyah, dan M. Alimul Furqan menemukan ide bisnis. Arang sekam yang dianggap limbah pertanian, di tangan Ucheng, mendatangkan pendapatan yang mencengangkan.
Kini, dirinya memiliki 7 orang pekerja dengan penghasilan rata-rata per bulan mencapai angka sebesar Rp 30 hingga 40 juta. “Ternyata banyak yang tidak tahu bahwa sekam hasil penggilingan padi sangat mudah diolah sekaligus sangat bermanfaat. Dari sekam padi banyak produk bisa dihasilkan. Mulai dari arang sekam, briket, media tanam siap pakai dan lain-lain. Keuntungan produk cukup baik karena mengolah limbah hanya butuh tenaga saja, tidak butuh modal besar untuk membeli bahan baku, sehingga selisih keuntungan cukup besar,” jelasnya.
Pandemi COVID-19 justru menjadi momentum kebangkitan bagi usaha arang sekamnya. Bukan hanya penjualan yang meningkat, tetapi persaingan ikut mengeras. Ada banyak sekali produsen bertumbuhan terjun di pengolahan arang sekam.
Bagi dia, hal itu tidak menjadi masalah. Justru, orang banyak mendapat inspirasi “Selama pandemi, banyak orang terjun dalam kegiatan urban farming, dan arang sekam adalah primadona bagi urban farmer. Harus segera mengucapkan kata syukur pada Allah SWT, karena petani banyak tergerak memanfaatkan limbah untuk meningkatkan kesejahteraan,” ungkapnya.
Hingga kini, permintaan arang sekam berdatangan dari industri-industri menengah atas. Ucheng terus berupaya memenuhi permintaan skala besar. Salah satu keinginannya saat ini, memiliki sebuah toko di Kota Makassar. Ini agar memudahkan proses penjualan arang sekam dengan terus berkolaborasi dengan komunitasnya di Takalar.
Penulis: RJ. Warsa
Editor: MH Amal