24.1 C
Samarinda
Wednesday, December 4, 2024

Mahasiswa Perantau Gugat UU Pilkada ke MK, Khawatir Hak Pilih Terancam

HEADLINEKALTIM.CO, JAKARTA – Sejumlah mahasiswa perantau yang sedang menempuh studi di luar daerah asal mereka mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini didorong oleh kekhawatiran mereka akan kehilangan hak pilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendatang karena berada di luar domisili KTP mereka.

Dilihat dari risalah sidang MK pada Senin (7/10/2024), gugatan tersebut diajukan oleh 11 mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dilansir detik.com. Gugatan mereka terdaftar dengan nomor perkara 137/PUU-XXII/2024 dan telah menjalani sidang perdana pada Jumat (4/10/2024).

Para pemohon merasa bahwa Pilkada yang digelar serentak secara nasional seharusnya memberikan kemudahan bagi para pemilih yang tinggal di luar domisili KTP. Kondisi ini banyak dialami oleh mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di luar wilayah asal mereka. Kekhawatiran utama mereka adalah aturan yang ada saat ini tidak memberikan jaminan bahwa hak pilih mereka akan terlindungi, sehingga berpotensi terancam tidak bisa berpartisipasi dalam Pilkada.

“Pemilu kepala daerah dilaksanakan secara serentak, maka penyelenggaraannya juga mesti tetap melayani dan memenuhi hak pilih setiap warga negara Indonesia, sekalipun pada hari pemungutan suara mengalami keadaan tertentu yang menyebabkan tidak berada bertempat tinggal atau berdomisili di alamat TPS sebagaimana yang terdaftar dalam DPT asal,” ungkap pengacara para pemohon dalam persidangan.

Dalam gugatannya, mahasiswa perantau ini mengajukan dua usulan yang diharapkan dapat diakomodir oleh MK. Usulan pertama adalah agar penyelenggara pemilu diinstruksikan untuk mendata pemilih perantau dan menyediakan surat suara Pilkada daerah asal di TPS tertentu. Dengan demikian, para pemilih perantau dapat mencoblos kepala daerah sesuai dengan daerah asal mereka, meskipun sedang berada di luar wilayah tersebut. Rekapitulasi suara dari TPS para perantau ini nantinya akan digabung dengan hasil rekapitulasi di daerah asal.

Usulan kedua, yang dianggap lebih sederhana, adalah agar mahasiswa perantau secara otomatis dianggap pindah domisili sementara, sehingga dapat menggunakan hak pilih di TPS wilayah tempat mereka berada saat hari pemungutan suara. Dengan demikian, mereka bisa mencoblos kepala daerah di tempat tinggal sementara tersebut tanpa perlu repot kembali ke daerah asal.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan mereka dengan menyatakan bahwa beberapa frasa dalam Undang-Undang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai untuk memberikan kesempatan kepada pemilih perantau untuk tetap dapat mencoblos di luar daerah asal.

Adapun petitum tersebut berbunyi sebagai berikut:

  1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
  2. Menyatakan frasa “di tempat lain” dalam Pasal 62 ayat (1) UU 1/2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “di luar daerah provinsi asal dan/atau di luar daerah kabupaten/kota asal.”
  3. Menyatakan frasa “di TPS lain” dalam Pasal 95 ayat (2) UU 1/2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “di TPS di luar daerah provinsi asal dan/atau di TPS luar daerah kabupaten/kota asal.”
  4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
  5. Atau, jika MK berpendapat lain, memohon putusan yang seadil-adilnya.

Hakim Mahkamah Konstitusi, Arsul Sani, dalam sidang perdana memberikan masukan kepada para pemohon agar mempertimbangkan alternatif lain, seperti e-voting. Menurut Arsul, penggunaan teknologi e-voting dapat menjadi solusi praktis bagi pemilih perantau tanpa harus mengandalkan logistik fisik seperti surat suara.

“Coba kalau dengan e-voting, selesai ini, ya. Tentu untuk apa pelaksanaan e-voting itu. Ini kalau dimasukkan, ini akan bagus karena memang kita ini harus mendorong pemilu kita itu ke depan bisa e-voting setelah semua wilayah NKRI ini, ya, ter-cover oleh internet minimal 3G,” ujar Arsul dalam sidang.

Artikel Asli baca di Detik.com

 

Berita Terkini di Ujung Jari Anda! Ikuti Saluran WhatsApp Headline Kaltim untuk selalu up-to-date dengan berita terbaru dan Temukan berita populer lainnya di Google News Headline Kaltim

- Advertisement -

LIHAT JUGA

TERBARU

POPULER