HEADLINEKALTIM.CO, SAMARINDA –Revisi Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu mendesak dilakukan. Selain menyikapi terbentuknya 3 daerah otonomi baru di Papua, pelaksanaan Pemilu 2024 setelah penetapan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur, juga butuh kejelasan.
IKN ditetapkan di Kalimantan Timur, tepatnya di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan sebagian wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, lewat pengesahan UU Nomor 3/2022.
Ihwal perlunya kejelasan status pelaksanaan Pemilu serentak 2024 di IKN dikemukakan sendiri oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum Kalimantan Timur, Rudiansyah, saat ditemui rombongan pengurus Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Pusat dan JMSI Kaltim, awal Juli lalu.
Ia meminta dukungan agar perbicangan soal Pemilu serentak 2024 di IKN mengemuka di publik. “Harus dilakukan diskusi publik sehingga IKN memiliki status yang jelas pada pemilu mendatang,” katanya kepada Sekretaris Pokja Kepemiluan JMSI Pusat, Faisal Andri Mahrawa didampingi Ketua JMSI Kaltim, Mohammad Sukri dan rombongan.
Dihubungi headlinekaltim.co, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa N. Agustyati menegaskan perlunya revisi Undang-Undang Pemilu. Salah satunya, memperjelas status pelaksanaan Pemilu serentak 2024 di IKN Nusantara.
”Di dalam Undang-Undang IKN disebutkan bahwa hanya akan ada pemilu nasional di sana. Di sinilah problemnya karena tidak ada representasi DPRD-nya. Padahal, representasi masyarakat tidak bisa hanya dititipkan di DPR saja,” tukasnya lewat pesan WhatsApp, Rabu 6 Juli 2022.
Khoirunnisa menyinggung soal hak pilih warga negara yang masuk dalam wilayah IKN. Penyelenggara pemilu seharusnya memfasilitasi hak pilih mereka. “Lalu, soal kursi dan dapil (di IKN, Red), ini yang harus dipastikan dulu. Di dalam Undang-Undang Pemilu kita sudah dikunci jumlah kursi DPR dan juga dapil-nya. Daerah pemilihan juga sudah menjadi lampiran undang-undang sehingga jika ingin dibentuk dapil baru untuk IKN harus mengubah undang-undang,” tukasnya lagi.
Apakah tidak bisa diatur lewat aturan turunan seperti PKPU? Dia menegaskan, hal tersebut tidak cukup diatur dalam PKPU. Sebab, KPU dalam membuat PKPU juga harus berdasarkan undang-undang. “Undang-Undang Pemilu kita mengatur hal-hal yang teknis seperti alokasi kursi dan dapil tadi,” bebernya lagi.
Oleh sebab itu, lanjut dia, revisi terhadap Undang-Undang Pemilu harus secepatnya dilakukan agar ada kepastian dan tidak menimbulkan kegamangan, baik bagi peserta Pemilu, warga pemilik hak pilih dan lembaga penyelenggara sendiri.
“Harus secepatnya ada kepastian. Di dalam undang-undang IKN sebetulnya perlu disebutkan bahwa hal-hal yang terkait penyelenggaraan pemilu diatur di dalam undang-undang Pemilu,” tegasnya.
Akademisi Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah yang dihubungi juga menyoal ketiadaan Pemilu tingkat lokal di IKN Nusantara. “Ini salah satu poin kritikan kami sejak UU IKN itu masih dalam bentuk rancangan,” katanya kepada headlinekaltim,co, Kamis 7 Juli 2022.
Menurut dia, ketiadaan pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD, berimplikasi serius terhadap dua hal. Pertama, soal hak pilih warga negara yang ada di wilayah IKN.
“Itu jelas mengebiri hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih, sebagaimana mandat UUD 1945. Tidak bisa undang-undang IKN yang derajatnya lebih rendah dari UUD, tiba-tiba dengan entengnya melabrak hak fundamental warga negara yang diatur dalam UUD,” ujarnya.
Kedua, soal status pemerintahan daerah yang harusnya tunduk terhadap rezim UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kalau di dalam undang-undang, lanjut dia, IKN itu dikualifikasikan sebagai Pemerintahan Daerah. Seharusnya, unsur penyelenggaranya juga termasuk DPRD, sebagaimana disebutkan eksplisit dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Jadi, melikuidasi DPRD sama halnya dengan merusak desain pemerintahan daerah yang selama ini tunduk dalam rezim UU Pemerintahan Daerah.
“Ini juga berkaitan dengan fungsi check and balances, siapa yang akan mengawasi kalau DPRD-nya tidak ada. Pengawasan yang diserahkan ke pusat, sementara pemerintahan di IKN sendiri adalah perpanjangan tangan pusat, sama dengan jeruk makan jeruk. Ini tidak sejalan dengan konsep pengawasan ala Mauro Cappelletti, yang menyebut, who will watch the watcher?” tukasnya.
Pria yang karib disapa Castro ini setuju agar Pemilu serentak di IKN Nusantara dijadikan diskusi publik. “Hampir semua isu yang bertalian dengan kepemiluan, kawan-kawan di daerah memang cenderung tertinggal. Kawan-kawan penyelenggara (pemilu) bisa menggunakan mulut masyarakat sipil sebagai corong. Memang butuh diskusi yang lebih intens dan terorganisir,” tukasnya.
Dengan begitu, lanjut Castro, isu IKN jangan hanya dilokasir ke soal infrastruktur fisik yang memang di lapangan, sedang digenjot. “Di sana ada banyak soal hak-hak fundamental warga negara yang butuh diadvokasi,” ujarnya lagi.
Soal solusi jangka pendek untuk merevisi Undang-Undang Pemilu, Castro cenderung kepada opsi Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
“Kalau melihat kegentingannya, Perppu memenuhi syarat untuk diterbitkan demi memberikan kepastian hukum sekaligus memastikan hak-hak warga di wilayah IKN tidak terabaikan,” tegasnya.
SIMULASI DAPIL
Konsekuensi ditetapkannya Kecamatan Sepaku, Kabupaten PPU menjadi bagian dari Ibu Kota Negara (IKN) baru dan menjadi daerah otonom, sudah diantisipasi oleh KPU setempat selaku penyelenggara Pemilu.
Paling muskil, Kabupaten PPU bakal kehilangan Daerah Pemilihan (Dapil) Sepaku di pemilihan legislatif (Pileg) 2024 mendatang. Hal itu diungkapkan Komisioner KPU Kabupaten PPU Divisi Teknis Penyelenggaraan, Tono Sutrisno.
“Karena UU IKN sudah ditetapkan, dan Sepaku menjadi otorita, kemungkinan di Pileg mendatang, kita kehilangan Dapil Sepaku,” kata Tono Sutrisno, Senin 7 Maret 2022, silam.
Pada Pileg 2019 lalu, dijelaskan Tono, Kabupaten PPU memiliki tiga Dapil dengan kuota 25 kursi DPRD PPU yakni; Dapil I Kecamatan Penajam dengan 12 kursi, Dapil II Kecamatan Sepaku sebanyak lima kursi dan Dapil III Kecamatan Waru dan Babulu dengan jatah delapan kursi.
Konsekuensi dari masuknya Kecamatan Sepaku dalam wilayah IKN, Dapil Penajam berpotensi dipecah menjadi dua Dapil dengan total jatah 15 kursi.
“Kalau dipaksakan satu Dapil saja dengan 15 kursi, itu berbenturan dengan aturan. Bisa saja nanti Kecamatan Penajam dibagi menjadi dua Dapil,” jelasnya.
Untuk Dapil III Kecamatan Waru dan Babulu tetap dipertahankan. Hanya saja, kuota kursi akan bertambah menjadi 10.
“Itu simulasi pembagian dapil dan kuota kursi apabila Kecamatan Sepaku keluar dari daerah administrasi PPU. Kami juga akan berkoordinasi dengan Kemendagri terkait dengan status penduduk Sepaku, apakah nantinya tetap terdata sebagai warga PPU atau beralih status sebagai penduduk IKN,” tukasnya.
Salah satu anggota DPRD PPU dari Dapil Sepaku, Muhammad Bijak, mengaku masih menuggu aturan yang jelas terkait Pemilu serentak di IKN.
Dia enggan berbicara soal kehilangan dapil Sepaku. Yang terpenting, katanya, bagaimana negara dapat mengakomodir aspirasi dari masyarakat khususnya yang berada di Kecamatan Sepaku.
“Yang jadi fokus kita bukan kehilangan kursi, tapi bagaimana nantinya masyarakat kita di Kecamatan Sepaku tetap dapat menyampaikan aspirasinya,” kata Bijak saat ditemui wartawan media ini, beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, pertanyaan soal Pemilu serentak di IKN Nusantara juga keluar dari mulut Wakil Bupati Kutai Kartanegara Rendi Solihin. Rendi pantas menyoal masalah daerah pemilihan (Dapil) anggota DPRD Kukar untuk Pemilu 2024.
Sebelum terpilih mendampingi Bupati Edi Damansyah di Pilkada 2020, Rendi adalah anggota DPRD Kukar dari Dapil Kecamatan Samboja, Muara Jawa dan Sangasanga. Kecamatan Samboja, kampung halaman Rendi, berikut Muara Jawa, ditetapkan masuk kawasan IKN Nusantara.
“Nasib anggota DPRD saat ini belum ada kejelasan. Jika nantinya masuk wilayah IKN, maka pembinaan konsituen akan berpindah, termasuk Dapil mereka juga bakal berpindah,” ungkapnya.
Yang perlu dipikirkan juga, sebut Rendi, soal dana pokok pikiran (Pokir) anggota DPRD Kukar yang terpilih melalui sejumlah Dapil. “Jika kecamatan masuk wilayah IKN, maka apakah tetap memperjuangkan pokir atau tidak?” ujarnya.
Penulis/Editor: M Huldi Amal