src="https://news.google.com/swg/js/v1/swg-basic.js"> UU Cipta Kerja Disebut Dukung Pemberantasan Korupsi, Castro: Menyesatkan Publik!

UU Cipta Kerja Disebut Dukung Pemberantasan Korupsi, Castro: Menyesatkan Publik!

3 minutes reading
Saturday, 10 Oct 2020 19:26 72 huldi amal

HEADLINEKALTIM.CO, SAMARINDA – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut Omnnibus Law UU Cipta Kerja mendukung upaya pemberantasan korupsi adalah pernyataan yang menyesatkan publik.

Hal ini dikatakan Herdiansyah Hamzah, salah satu akademisi yang tergabung dalam Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, menanggapi pernyataan Presiden Jokowi  pada konferensi pers secara virtual dari Istana Kepresiden Bogor, Jumat 9 Oktober 2020 kemarin.

“Jika melihat draft omibus law RUU Cipta Kerja, versi 905 halaman yang beredar di tengah masyarakat (Paripurna 5 Oktober 2020), maka pernyataan Presiden Jokowi tersebut, rasanya sulit untuk tidak mengatakan sebagai pernyataan yang menyesatkan publik,” kata Castro, sapaan akrabnya.

Pada Pasal 111 Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yang mengubah ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, “gratifikasi” tetap dimasukkan sebagai salah satu objek pajak sebagaimana yang disebutkan secara eksplisit dalam perubahan Pasal 4 ayat (1) huruf a (lihat halaman 486).

“”Apakah Pak Jokowi lupa, jika ketentuan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara tegas mengkualifikasi gratifikasi sebagai pemberian suap,” ujar Castro.

Menurut Castro, bisa saja Presiden dan DPR beralasan, jika gratifikasi sebagai objek pajak sudah sejak lama diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tersebut.

“Tapi ingat, sistem legislasi kita menganut asas hukum, “lex posterior derogat legi priori”, yang berarti aturan hukum yang lebih baru harus mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama,” ujarnya.

Dengan demikian, harusnya ketentuan mengenai gratifikasi tunduk terhadap ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain upaya pembenaran terhadap gratifikasi, dikatakan Castro, Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga cenderung melegalkan korupsi. Sebab, tindakan yang diambil oleh lembaga yang diberikan kewenangan khusus (sui generis) dalam rangka pengelolaan investasi, nantinya, tidak dikualifikasikan sebagai kerugian keuangan negara.

“Upaya melegalkan korupsi ini, dapat kita baca dalam ketentuan Pasal 158 ayat (4) RUU Cipta Kerja, yang menyebutkan bahwa, “keuntungan atau kerugian yang dialami Lembaga dalam melaksanakan investasi, merupakan keuntungan atau kerugian Lembaga”. Jadi kerugian yang muncul akibat tindakan lembaga pengelola investasi, tidak dikualifikasikan sebagai kerugian keuangan negara,” katanya.

Bahkan ketentuan tersebut diperkuat oleh keberadaan Pasal 163 RUU Cipta Kerja yang menyebutkan jika Menteri Keuangan, pejabat Kementerian Keuangan, dan organ dan pegawai lembaga, tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum atas kerugian investasi.

“Kendatipun pasal 164 RUU Cipta Kerja menyebutkan frase “jika dapat membuktikan”, namun norma ini tetap saja menimbulkan pertanyaan kritis dari publik, kenapa harus disebutkan secara eksplisit dalam Pasal tersebut?” tanya Castro.

Tafsir tentang “kerugian keuangan negara”, disebut Castro, sudah sangat jelas dan terang disebutkan dalam norma Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Merekonstruksi ulang dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, jelas menguatkan motif untuk menghindari jerat korupsi.

Penulis : Amin

 

Berita Terkini di Ujung Jari Anda! Ikuti Saluran WhatsApp Headline Kaltim untuk selalu up-to-date dengan berita terbaru dan Temukan berita populer lainnya di Google News Headline Kaltim

LAINNYA