25 C
Samarinda
Friday, March 29, 2024

Paripurna Dewan Soal Pergantian Makmur Cacat Hukum, Gubernur Diminta Tak Memproses

HEADLINEKALTIM.CO, SAMARINDA – Polemik pergantian antarwaktu Ketua DPRD Kaltim dari Makmur HAPK ke Hasanuddin Masud hingga saat ini jadi perbincangan publik.

Sebagian kalangan menganggap, paripurna DPRD Kaltim yang dilakukan beberapa hari lalu adalah hal yang salah. Alasannya, proses hukum masih belum final dan gugatan Makmur masih berproses di Pengadilan Negeri Samarinda.

Aliansi Pimpinan Ormas Daerah (Aorda) turut menyorot keputusan paripurna Karang Paci tersebut. Ketua Umum Aorda, Mohammad Djailani menyebut rapat paripurna yang digelar DPRD Kaltim pada Selasa 2 November 2021 itu cacat hukum.

“Kenapa? Karena pada saat ini masih dalam proses gugatan di Pengadilan Negeri Samarinda. Nomor gugatannya pun sudah ada,” ujar salah satu tokoh masyarakat di Kaltim itu.

“Gugatan itu pun belum ada keputusan berkekuatan hukum tetap, tetapi dewan sudah memutuskan untuk pergantian,” katanya.

Aorda meminta agar pimpinan daerah dalam hal ini adalah Gubernur Kaltim bijak menyikapi persoalan tersebut.

Diektahui, usulan pergantian Ketua DPRD Kaltim itu nantinya akan diserahkan kepada Gubernur Kaltim untuk selanjutnya diteruskan ke Mendagri.

“Kami meminta kepada Gubernur Kaltim dan juga Menteri Dalam Negeri untuk tak proses dan menindaklanjuti pengusulan pergantian Ketua DPRD Kaltim ini, sampai ada putusan hukum berkekuatan hukum tetap,” katanya.

Djailani juga menyampaikan bahwa hingga saat ini Makmur HAPK merupakan Ketua DPRD Kaltim yang sah. Dengan itu pula melekat seluruh kewajiban dan hak-hak kepada Makmur HAPK.

Menurut dia, hal ini perlu disampaikan agar memberikan pelajaran politik dan hukum yang baik kepada masyarakat.

“DPRD sebaiknya memberikan contoh yang baik bagaimana memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan hukum,” ujarnya.

Sebelumnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah menanggapai proses pergantian Ketua DPRD Kaltim dari Makmur HAPK ke Hasanuddin Masud.

Castro, sapaannya, menyebut keputusan paripurna untuk melanjutkan proses pergantian ketua DPRD Kaltim lebih mementingkan aspek politik dibanding hukum.

“Mereka itu kan disumpah untuk menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan. Lantas bagaimana mungkin mereka melepeh sumpah itu dengan mendahulukan nafsu politik dibanding aturan hukum?,” ujar Castro, Rabu 3 November 2021.

“Ini jelas kemunduran cara berpikir anggota DPRD yang tidak layak ditonton publik. Logikanya begini, sifat putusan mahkamah partai itu kan tidak final dan mengikat, jadi tidak bisa diproses sebelum berkekuatan hukum tetap melalui putusan pengadilan. Satu-satunya putusan partai yang final dan mengikat adalah soal kepengurusan sebagaimana disebut di Pasal 32 ayat (5) UU 2/2011. Jadi selama masih ada upaya hukum yang dilalukan oleh pihak yang keberatan dengan putusan mahkamah partai, maka putusan itu belum bisa dieksekusi,” jelasnya lagi.

Dijelaskan Castro, contoh konkretnya adalah kasus Fahri Hamzah yang dipecat PKS di DPR-RI, atau kasus Viani Limardi yang dipecat PSI di DPRD DKI.

Usulan pergantiannya tidak bisa langsung dieksekusi, sebelum upaya hukum di pengadilan clear.

“Jadi seharusnya DPRD secara kelembagaan taat terhadap hukum, bukan tunduk terhadap kepentingan golongan. Yang lebih aneh lagi, ada anggota DPRD yang goyah iman-nya hanya karena desakan kelompok tertentu. Itu kan konyol namanya,” kata Castro. (*)

Komentar
- Advertisement -

LIHAT JUGA

TERBARU