22.9 C
Samarinda
Wednesday, October 16, 2024

Kontroversi Ekspor Pasir Laut: Kebijakan Jokowi Memicu Polemik Lingkungan dan Ekonomi

HEADLINEKALTIM.CO, JAKARTA – Setelah dua dekade penutupan, ekspor pasir laut kembali menjadi sorotan. Keputusan pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo untuk membuka kembali ekspor pasir laut memicu kontroversi dan perdebatan sengit, mengingat sejarah panjang dan dampak lingkungan dari kebijakan ini.

Ekspor pasir laut pertama kali dimulai pada tahun 1970-an untuk memenuhi permintaan Singapura, yang menggunakannya untuk proyek reklamasi pulau. Pada puncaknya, volume ekspor mencapai 2 juta meter kubik per hari. Namun, hanya 900 ribu meter kubik yang dianggap legal, sehingga pemerintah mengalami kerugian tahunan sebesar 330 juta dolar AS, sebagaimana diungkapkan Majalah Tempo pada 11 Juni 2023.

Singapura, dengan pasir dari Indonesia, berhasil menciptakan delapan pulau kecil yang kini membentuk Pulau Jurong. Proyek reklamasi ini memperluas wilayah Singapura hingga 3,5 kilometer ke arah barat daya. Menyadari dampak lingkungan yang merusak, Presiden Megawati Soekarnoputri memutuskan untuk menghentikan ekspor pasir laut pada tahun 2003, melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Lingkungan Hidup.

Namun, pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, desakan untuk membuka kembali ekspor pasir laut mulai mengemuka. Ketua Asosiasi Pengusaha Pasir Laut (APPL), Herry Tousa, menjadi salah satu pengusung utama gagasan ini. Menurutnya, banyak pemegang izin usaha pertambangan pasir laut yang kini tidak aktif. Ia mengklaim bahwa dengan perizinan dan dokumentasi yang memadai, pengerukan pasir laut dapat dilakukan tanpa merusak lingkungan.

Pertemuan antara APPL dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sempat membahas kemungkinan untuk melanjutkan pengambilan pasir laut, khususnya untuk kebutuhan domestik. Meskipun begitu, Herry mengeluhkan harga yang tidak memadai untuk proyek pembangunan domestik. Ia menegaskan bahwa pengerukan yang sesuai dengan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) tidak seharusnya berdampak negatif.

Pada 2 Februari 2021, ekspor pasir laut kembali dicantumkan dalam Undang-undang Cipta Kerja melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.5 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Namun, Presiden Jokowi membantah bahwa pemerintah membuka kembali keran ekspor pasir laut. “Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya. Yang dibuka, (hasil) sedimentasi,” tegas Jokowi dalam konferensi pers setelah meresmikan Kawasan Islamic Financial Center di Menara Danareksa, Jakarta.

Jokowi menjelaskan bahwa sedimentasi, meski bentuknya mirip pasir, adalah material yang mengganggu alur jalan kapal dan berbeda dari pasir laut yang digunakan untuk reklamasi. Kebijakan ini menggantikan ekspor pasir laut yang sempat ditutup selama 20 tahun, dengan penekanan pada peraturan baru dalam bidang ekspor.

Kebijakan ini memicu kritik tajam dari berbagai penggiat lingkungan. Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Kecil Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mengkritik keras kebijakan pemerintah. Ia menilai bahwa ekspor pasir laut sama dengan menjual kedaulatan Indonesia. “Kalau kita lihat, kerugiannya adalah selain pulau-pulau hilang, daratan Indonesia semakin mengecil, tapi daratan tetangga sebelah tuh, Singapura semakin meluas,” ujar Parid dalam pernyataannya pada 15 September 2024.

Mantan Menteri Kelautan, Susi Pudjiastuti, juga menyuarakan keprihatinan yang sama. Susi meminta Presiden Jokowi untuk membatalkan kebijakan ini, mengingat perubahan iklim yang sudah mulai terasa. Ia menyarankan alternatif lain seperti menyewakan pulau di Tanah Air kepada negara lain daripada mengekspor pasir laut. “Daripada kalian keruk pasirnya dan kau ekspor, kenapa kalian tidak berpikir untuk pulau kalian sewakan saja 100 tahun seperti Hong Kong disewakan ke Inggris,” tulis Susi dalam cuitannya di Twitter pada 18 Juni 2023.

Menurut Susi, dengan menyewakan pulau, Indonesia bisa mendapatkan manfaat tanpa kehilangan aset vital. Setelah masa sewa berakhir, pulau tersebut bisa dikembalikan dengan infrastruktur yang lebih baik, menjaga kelestarian dan kedaulatan negara.

Artikel Asli baca di Tempo.co

 

Berita Terkini di Ujung Jari Anda! Ikuti Saluran WhatsApp Headline Kaltim untuk selalu up-to-date dengan berita terbaru dan Temukan berita populer lainnya di Google News Headline Kaltim

- Advertisement -

LIHAT JUGA

- Advertisement -

TERBARU

POPULER