HEADLINEKALTIM.CO, SAMARINDA – Seorang wartawan senior Edy Mulyadi diduga menghina Kalimantan melalui video yang viral di media sosial.
Dalam video yang diunggah di kanal Youtube miliknya Selasa, 18 Januari 2022 lalu, dia bersama sejumlah pihak lainnya menyatakan penolakan terkait pemindahan ibu kota ke Kalimantan.
Sayangnya, penolakan itu disampaikan dengan menyinggung dan menyebut Kalimantan sebagai tempat jin buang anak.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim, Endro S. Efendi menyesalkan pernyataan sikap penolakan yang terlalu berlebihan tersebut.
“Sebagai wartawan senior, sepatutnya menjadi contoh kami yang muda-muda, yang masih belajar menjadi wartawan profesional,” sebut Endro didampingi Sekretaris PWI Kaltim Wiwid Marhaendra Wijaya dan Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Kaltim, Abdurrahman Amin.
Endro menyebutkan, jika pun tidak setuju dengan pemindahan ibu kota negara, banyak peluang dan ruang dalam menyampaikan aspirasi. Bisa melalui judicial review, hingga jalur lain yang diatur secara konstitusional.
“Bisa disampaikan alasan penolakan secara rasional dan berdasarkan kajian ilmiah. Bukan justru menyakiti hati warga Kaltim dengan menyebut daerah ini sebagai tempat jin buang anak,” sebut Endro.
Dikatakan Endro, selama ini Kaltim memberikan kontribusi pembangunan tidak sedikit. Bersama penghasil devisa terbesar lainnya di Indonesia, seperti Aceh, Riau dan Papua, hasil kekayaan Kaltim selama ini dikeruk dan lebih banyak dinikmati warga di Pulau Jawa.
“Setelah menikmati hasil kekayaan Kaltim dengan segala fasilitas yang mewah, kemudian menyebut Kaltim sebagai tempat jin buang anak. Ini kan sudah keterlaluan,” tambah Endro.
Endro menyampaikan, para wartawan senior di Kaltim, juga menyesalkan apa yang disampaikan kader salah satu partai tersebut. “Para wartawan legend Kaltim juga prihatin jika ada wartawan yang menyampaikan aspirasi dengan cara kurang elok dan santun,” sambungnya.
Ia berharap, Edy Mulyadi menyadari perkataannya dan meminta maaf. “Indonesia ini negara kesatuan. Tidak boleh ada satu pun kelompok warga yang merasa lebih hebat dari kelompok lain,” pungkas alumnus PPRA 57 Lemhannas RI ini. (*)