src="https://news.google.com/swg/js/v1/swg-basic.js">
HEADLINEKALTIM.CO, SAMARINDA – Majunya Sri Juniarsih Maksir menggantikan suaminya, almarhum Bupati Muharram sebagai bakal calon bupati berpasangan dengan Gamalis di Pilkada Berau 2020, cukup mengejutkan.
Setidaknya, tren keterlibatan perempuan sebagai kepala daerah di Pilkada yang bergantung pada jejaring kekerabatan semakin kuat di Kalimantan Timur.
Diketahui, Sri Juniarsih akan bersaing dengan Seri Marawiah, juga istri mantan Bupati Berau, kini Ketua DPRD Kaltim, Makmur HAPK. Seri berpasangan dengan Agus Tamtomo, calon Wakil Bupati Berau petahana.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengatakan kondisi ini sah saja bagi partai politik mengusung para istri mantan Bupati.
“Secara hukum, saya pikir sah-sah saja partai pengusung mengusulkan siapa saja sebagai pengganti almarhum Muharram yang berhalangan tetap (meninggal dunia). Asalkan disetujui bersama oleh partai pengusung, dan calon penggantinya memenuhi syarat calon, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 juncto Pasal 4 ayat (1) PKPU 1/2020,” kata pria yang karib disapa Castro.
“Tapi kendatipun sah secara hukum, pencalonan istri Muharram sebagai calon pengganti, mengkonfirmasi kuatnya aroma dinasti politik dalam Pilkada Berau ini,” tukasnya.
Menurut Castro, Pilkada Berau yang menampilkan pertarungan istri mantan Bupati memperlihatkan pendekatan politik berdasarkan genealogis kekeluargaan (political families) masih sangat kuat dalam kontestasi Pilkada.
“Implikasinya, kontestasi politik tersebut cenderung dimonopoli oleh klan politik tertentu saja,” kata Castro.
Lebih lanjut, Castro menilai salah satu implikasi politik dinasti ini adanya monopoli sehingga menutup ruang bagi tokoh-tokoh masyarakat miliki potensi memajukan daerah.
“Kalau soal alternatif kader, pasti ada kendatipun minim karena parpol juga tidak massif melakukan rekrutmen dan kaderisasi. Tapi dominasi tetapi saja terjadi oleh klan politik tertentu. Jadi khawatirnya seseorang diberikan jalan memimpin, bukan karena apa kelebihan dan kemampuannya, tapi semata-mata karena dia keluarga siapa,” kata Castro.
Bagi Castro, Pilkada setiap daerah mestinya menjadi sarana bagaimana pemimpin itu mesti lahir dari rahim rakyat. “Bekerja bertahun-tahun untuk menyelami problem pokok rakyat. Bukan karbitan, yang cenderung prematur,” katanya.
Penulis: Amin