HEADLINEKALTIM.CO, TENGGARONG – Konflik lahan antara warga Desa Jembayan Tengah dengan perusahaan tambang batu bara PT Multi Harapan Utama (MHU) mendapat perhatian banyak pihak.
Persoalan ini menjadi topik diskusi terpumpun yang digagas Aliansi Masyarakat Menuntut Keadilan (AMMK) pada Rabu 26 Mei 2021, di kafe asrama dosen Unikarta Tenggarong.
Dinamisator Jatam Kaltim Pradana Rupang yang jadi narasumber menyebut, masyarakat lokal yang ada di Jembayan Dalam dan Sungai Payang sebagai pemilik lahan seolah mengontrak di rumahnya sendiri.
Mereka menuntut haknya kepada perusahaan untuk diganti rugi karena sudah ditambang. “Masyarakat pemilik lahan bercocok tanam sudah puluhan tahun, tapi lahannya hilang ditambang batu bara karena dapat izin menambang dari kementerian dengan status PKP2B,” sebutnya.
Menurutnya, orang Jakarta memberikan izin tanpa peduli dengan nasib dan kehidupan masyarakat lokal yang bergantung dengan cocok tanam. “Semua pesanan dan kepentingan kapitalisme besar, tanpa memedulikan orang lokal,” ujarnya.
Rupang menambahkan, tanah yang sudah digarap bercocok tanam dalam jangka waktu yang lama oleh masyarakat berstatus tanah agraria. Jika masyarakat menggugatnya dan mengadukan sebagai konflik agraria, maka bisa memenangkannya.
“Yang dipertanyakan, masyarakat mau mempertahankan atau mau dibebaskan?” singgungnya.
Tokoh masyarakat Kukar, Aji Pangeran Puger meminta kepada Pemerintah Kecamatan dan Desa di Loa Kulu, untuk mendampingi masyarakatnya yang sedang berjuang menuntut haknya.
“Mendampingi masyarakat juga harus transparan, ayo bekerja sama, jangan ‘ngerjai’ sama-sama, ” ucap Puger, di hadapan Kades dan Pemerintah Kecamatan Loa Kulu yang hadir di FGD tersebut.
Kasi Pemerintahan Kecamatan Loa Kulu, Khaerudinata berujar, pihaknya tidak berdaya terhadap kasus konflik tanah tersebut. Sebab, kewenangan tidak terlalu besar. “Kami sudah bekerja maksimal terhadap kasus tersebut, namun kemampuan kami di kecamatan sangat terbatas, kami minta maaf, ” ungkapnya.
Perwakilan warga Loa Kulu, Syamsu Arzaman atau yang akrab dipanggil Tikong menegaskan akan mempertahankan lahannya. “Kita tidak tahu, anak kita ke depannya mau menjadi petani, tapi sangat disayangkan tidak punya lahan untuk bertani,” katanya.
Penulis: Andri
Editor: MH Amal