HEADLINEKALTIM.CO, SENDAWAR – Suku Dayak Tunjung dan Dayak Benuaq di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, memiliki tradisi kematian yang unik dan sakral, yaitu ritual kuangkay atau kwangkay. Upacara adat ini merupakan bagian penting dari kebudayaan masyarakat Dayak, yang diwariskan secara turun-temurun dan masih lestari hingga saat ini.
Ritual kuangkay dilakukan sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada leluhur yang telah meninggal dunia. Tidak hanya sekadar upacara biasa, kuangkay melibatkan berbagai prosesi adat yang sarat dengan nilai spiritual, salah satunya adalah penampilan Tari Ngerangkau, sebuah tarian tradisional yang menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual kematian ini.
Tari Ngerangkau memiliki peran penting dalam upacara kuangkay. Tarian ini tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga menjadi simbol penghormatan dan penghantaran arwah kepada leluhur. Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Benuaq dan Tunjung, penari yang membawakan Tari Ngerangkau dipercaya menjadi perantara arwah leluhur selama prosesi berlangsung.
Tarian ini bersifat spontanitas, tanpa latihan khusus, karena gerakannya dianggap sebagai ekspresi yang dipandu oleh kekuatan roh leluhur. Hal ini mencerminkan bahwa tujuan utama dari tarian ini bukanlah estetika gerakan, melainkan makna dan fungsi spiritualnya.
Tari Ngerangkau dalam ritual kuangkay terdiri dari tiga jenis, yang masing-masing memiliki makna dan waktu pelaksanaan yang berbeda:
- Tari Ngerangkau Bini (Wanita):
Tarian ini khusus dibawakan oleh wanita dari keluarga yang meninggal dunia. Biasanya dilakukan pada malam hari di rumah tempat jenazah disemayamkan atau di lokasi di mana peti jenazah berada. Tarian ini menjadi bentuk penghormatan keluarga kepada almarhum.
- Tari Ngerangkau Laki (Pria):
Dibawakan oleh para pria, khususnya sesepuh desa yang telah ditunjuk oleh Sentangis atau pawang. Sama seperti Tari Ngerangkau Bini, tarian ini juga dilakukan pada malam hari dan memiliki makna spiritual mendalam sebagai doa bagi arwah yang telah pergi.
- Tari Ngerangkau Bersama:
Tarian ini melibatkan seluruh keluarga almarhum, baik pria maupun wanita, serta para undangan yang hadir dalam upacara kuangkay. Mereka menari bersama di halaman rumah atau pekarangan luas, biasanya saat tulang tengkorak almarhum yang telah dimasukkan ke dalam peti tengkorak (selimat) diarak dalam prosesi sakral.
Tari Ngerangkau tidak sekadar menjadi bagian dari tradisi kematian, tetapi juga mencerminkan hubungan mendalam antara masyarakat Dayak dengan leluhur mereka. Setiap gerakan tarian diyakini memiliki nilai spiritual yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia roh. Penari dianggap sebagai medium yang “dihadirkan” oleh roh leluhur untuk memberikan restu kepada keluarga yang ditinggalkan.
Meskipun tidak ada aturan khusus dalam bentuk gerakan, Tari Ngerangkau tetap mencerminkan harmoni dan rasa kebersamaan. Penampilan spontan para penari menunjukkan keterhubungan batin yang kuat dengan roh leluhur, di mana aspek estetika tarian menjadi hal sekunder dibandingkan dengan makna spiritual yang terkandung di dalamnya.
Upacara kuangkay, termasuk Tari Ngerangkau, hingga kini masih lestari di kampung-kampung yang dihuni oleh suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Ritual ini dilakukan untuk menunjukkan penghormatan kepada tradisi leluhur dan menjaga hubungan spiritual dengan alam semesta.
Sebagai salah satu kekayaan budaya Kalimantan Timur, ritual kuangkay memiliki nilai budaya yang tinggi. Tradisi ini juga menjadi daya tarik wisata budaya yang mengundang perhatian masyarakat luar. Meski begitu, masyarakat Dayak Tunjung dan Benuaq tetap memandang ritual ini sebagai sesuatu yang sakral, bukan semata-mata hiburan bagi pengunjung.
Artikel Asli baca di rri.co.id
Berita Terkini di Ujung Jari Anda! Ikuti Saluran WhatsApp Headline Kaltim untuk selalu up-to-date dengan berita terbaru dan Temukan berita populer lainnya di Google News Headline Kaltim