30.1 C
Samarinda
Sunday, March 23, 2025
Headline Kaltim

Mengurai Dinamika Konflik Agama di Indonesia: Menuju Harmoni Multikulturalisme

MULTIKULTURALISME merupakan ideologi penting yang dapat meningkatkan kesadaran dan penghargaan terhadap kesetaraan manusia, melalui budaya sebagai panduan kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, prinsip “Bhinneka Tunggal Ika” mencerminkan kemauan kuat untuk mengakui perbedaan, sembari memelihara kesatuan dan keragaman sebagai realitas kehidupan sehari-hari.

Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keberagaman, mencirikan identitasnya melalui multikulturalisme dalam ranah keagamaan, suku, dan ras. Perbedaan ini telah ada sejak sebelum pembentukan bangsa Indonesia. Berdasarkan sensus resmi milik Kementerian Dalam Negeri tahun 2021, penduduk Indonesia berjumlah 273,32 juta jiwa dengan 86,93% beragama Islam, 10,55% Kristen (7,47% Kristen Protestan, 3,08% Kristen Katolik), 1,71% Hindu, 0,74% Buddha, 0,05% Konghucu, dan 0,03% agama lainnya. Negara ini menghargai kebebasan beragama dan mencerminkan sifat pluralistiknya yang unik dalam setiap daerahnya.

Namun di Indonesia, konflik sering muncul dalam konteks perbedaan agama. Sebagian besar masyarakat Islam tidak selalu mendukung pembangunan tempat ibadah atau fasilitas terkait agama lain. Akibatnya, hak-hak kaum minoritas seringkali terabaikan seperti yang pernah terjadi di beberapa daerah, sebut saja Cilegon, Malang, dan bahkan Samarinda.

Penyangkalan terhadap rumah ibadah merupakan kisah yang kerap terdengar dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Berbagai alasan seperti kurangnya izin atau ketidaksesuaian dengan aturan, sering digunakan sebagai pembenaran oleh mayoritas untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat intoleran. Warga yang menolak pembangunan rumah ibadah agama tertentu, khawatir akan nyanyi-nyanyian rohani terdengar dan ditiru oleh anak-anak, hingga berbagai persepsi buruk lainnya atas pemeluk agama tertentu.

Sikap intoleransi yang terlihat di beberapa daerah tersebut menunjukkan ketidaksesuaian terhadap keberagaman. Meskipun UUD 1945 menjamin kebebasan memilih agama dan menjalankan kewajiban beragama, masih terdapat penolakan terhadap umat Kristen yang hendak mendirikan gereja. Seharusnya, umat Kristen memiliki hak yang sama untuk menjalankan kewajiban beragama, termasuk beribadah di gereja mereka tanpa hambatan.

Penolakan tersebut muncul dari keyakinan bahwa agama tertentu dianggap sebagai agama yang sempurna, sementara agama lain dianggap tidak sempurna. Namun, perlu ditekankan bahwa sikap ini mencerminkan intoleransi dan arogansi, sebab penolakan terhadap minoritas agama manapun melanggar prinsip-prinsip non-diskriminasi yang diatur oleh UUD 1945.

Menilik dari sejarahnya, selama era kolonial di kepulauan Nusantara, masyarakat Muslim sebagai penduduk mayoritas merasa terancam oleh kebijakan politik kolonial yang mendukung penyebaran agama Kristen. Akibatnya, kecurigaan terhadap Kristen dan Katolik berkembang. Namun, pendiri Republik Indonesia yang banyak di antaranya merupakan seorang ulama dan tokoh agama Islam, berupaya menciptakan kerukunan dan pluralisme keagamaan dengan menetapkan Pancasila sebagai landasan negara serta menganut Konsep Negara Hukum.

Pemerintah pun memiliki peran penting dalam menanamkan toleransi beragama pada masyarakat. Pemerintah dapat menciptakan kurikulum pendidikan yang mencakup pemahaman tentang berbagai agama dan keyakinan, memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat untuk merancang dan melaksanakan program-program toleransi beragama. Pemerintah pun harus menanggapi dengan tegas terhadap kelompok-kelompok ekstrimis yang mencoba memecah-belah masyarakat berdasarkan keyakinan agama. Lalu, pemerintah harus mendorong dan mendukung kegiatan-kegiatan yang mempertemukan warga dari berbagai agama.

Manusia yang mendambakan kehidupan damai tentu tidak menginginkan adanya intoleransi, karena ini mencerminkan manifestasi negatif dari prasangka yang tidak baik atau berlebihan terhadap kelompok atau individu. Intoleransi dapat melibatkan kebencian terhadap suku, ras, bahkan agama. Oleh karena itu, toleransi beragama dibutuhkan sebagai landasan penting bagi masyarakat multikultural Indonesia, untuk hidup bersama secara damai, harmonis, dan saling menghormati.

Penulis:  Salwa Ayu Rofiah (NIM: 2202056027) dan Sasli Alqasya Putra Fani
NIM: 2202056055. Mahasiswa FISIP UNMUL.

 

- Advertisement -
Telah diverifikasi oleh Dewan Pers Sertifikat Nomor 1321/DP-Verifikasi/K/XI/2024

Populer Minggu Ini

Pertamina Tegaskan Kualitas Pertamax yang Dinikmati Konsumen Bukan Produk Oplosan

HEADLINEKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Menanggapi isu yang berkembang di masyarakat...

Edi Damansyah Legowo Didiskualifikasi, Timses Segera Umumkan Nama Pengganti Menuju PSU

HEADLINEKALTIM.CO, TENGGARONG - Putusan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang...

Peringati Hari Satwa Liar Sedunia, PBB Serukan Perlindungan Satwa untuk Masa Depan Bumi

HEADLINEKALTIM.CO, JAKARTA - Setiap tanggal 3 Maret, dunia memperingati...

Resep Menulis Penyair cum Dosen FIB Unmul Dahri Dahlan, Terbitkan Buku Puisi “Hal-Hal yang Pergi” dan “Kau Sedingin Pelabuhan”

SASTRA memiliki keistimewaan tersendiri. Tidak semua orang mampu menulis...

Mobil Terjun ke Saluran Air Depan Hotel Zurich

HEADLINEKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Sebuah mobil citycar merek Daihatsu Ayla...

Tag Populer

Terbaru