Oleh Yanuardi Syukur
Ada sebuah cerita. Seorang pemuda diminta menggantikan gurunya untuk mengisi sebuah diskusi di sebuah negeri yang jauh. Bagi sang pemuda, tugas tersebut tidaklah mudah, penuh tantangan, tapi mau tidak mau, sebagai ihtiram kepada guru, amanah itu pun dijalaninya. “Saya bimbang apakah bisa memenuhi harapan peserta atau tidak,” katanya. Walhasil, setelah menggantikan gurunya, sang pemuda mendapatkan pencerahan, bahkan jalan hidupnya kemudian semakin bersinar terang.
Cerita itu menjelaskan tentang dua hal: keinsafan akan kapasitas diri, dan pemenuhan ekspektasi masyarakat. Kadang, orang merasa tidak memiliki apa-apa, apalagi jika dibandingkan dengan gurunya, tapi perasaan itu sesuatu yang normal saja dalam arti ‘semua orang memiliki rasa minder’ terhadap hal tertentu. Tapi, jika seseorang itu mulai melihat sisi unik atau khas dalam dirinya maka lama kelamaan dia akan insaf bahwa dia juga sejatinya punya sesuatu yang natural yang dapat dibagikan kepada orang lain.
Soal espektasi, tiap orang atau kumpulan orang memiliki harapan kepada kita. Harapan itu dibutuhkan sebagai solusi mengatasi dahaga intelektual, atau bahkan dahaga emosional dan spiritual yang sedang dihadapi manusia. Ekspektasi itu akan bertemu dengan kekecewaan manakala orang yang diharapkan bertindak tidak sesuai dengan harapan tersebut.
Tapi dalam soal ‘wakil-mewakili’, tradisi umat manusia sejak purba memang senang memberikan wakil ketika sang pemimpin atau tokoh tidak bisa menghadirinya. Wakil itu bisa berbentuk utusan (duta), atau bahkan simbol. Lukisan tangan purbakala tertua di dunia yang ada di Leang-Leang, Maros misalnya, adalah wakil dari ekspresi kultural untuk menyampaikan pada masa depan bagaimana mereka berpikir dan bertindak di zaman terbatas tersebut sekitar 30.000 hingga 51.000 tahun yang lalu.
Saat remaja dulu saya pernah dengar sebuah kalimat, ‘harapan dan kenyataan tidak selamanya sinkron.’ Saya pikir, itu betul. Apalagi setelah menjalani hidup, bertemu dengan bermacam orang yang sifatnya lintas-batas. Bahwa tiap orang akan berharap sesuatu tapi orang lain belum tentu dapat memenuhi harapan tersebut. Pada batas tertentu, harapan itu dapat bertemu dengan kenyataan, akan tetapi tidak selamanya harapan akan bertemu dengan kenyataan. Tabiat dunia seperti begitu.
Siklus kekuasaan di istana raja penuh dengan intrik. Banyak hal tidak terduga yang terjadi, banyak kejutan dalam interaksi antarmanusia dimana manusia pada akhirnya akan melakukan kategorisasi; ‘ini orang baik’ dan ‘ini tidak baik’. Seorang pemimpin formal bisa diimajinasikan sebagai tokoh penyelamat di masa berkuasa, tapi dapat dianggap sumber celaka pasca kepemimpinannya, bahkan sebaliknya. Di sini bertemu antara harapan dan kenyataan. Orang baik bisa jadi buruk, dan orang buruk bisa jadi baik.
Tabiat itu sudah dari dulu ada dalam kesadaran bawah sadar umat manusia. Tidak perlu disesali, tapi karena ‘sejarah itu berulang’, manusia perlu belajar bagaimana menghadapinya. Apa yang kita lihat, dengar, rasakan atau apa yang kita harapkan dan takutkan di masa sekarang juga sebenarnya dalam bentuk yang substansial dirasakan pula oleh orang-orang terdahulu. Perasaan terasing, tak dihargai, tak diperhatikan, atau bahkan tak bermakna itu sepertinya ada sebagai potensi kesadaran manusia, tapi sejarah memberi kita cerita bagaimana menghadapi hembusan perasaan-perasaan seperti itu.
Jika kita lihat surat An-Nas, di situ ada ayat tentang ‘waswas’ yang dihembuskan oleh jin atau manusia. Artinya, rasa waswas itu sejak zaman azali sampai sekarang, bahkan masa depan memang ada; rasa khawatir, bimbang, takut ini dan takut itu. Kekhawatiran yang islami itu ada, misalnya ‘takut api neraka’, ‘takut jika nanti meninggalkan generasi yang lemah’, akan tetapi takut yang tidak islam…