Agung Wicaksono, S.H*)
Kasus kekurangan takaran minyak goreng kemasan kembali mencuat setelah Tim Satuan Tugas (Satgas) Pangan Kalimantan Timur menemukan adanya pengurangan isi dalam sidak di Kawasan Pasar Pandan Sari, Balikpapan Barat. Dari 10 sampel produk minyak yang diperiksa, ditemukan bahwa takarannya lebih rendah dari yang seharusnya, dengan selisih lebih dari 20 mililiter per kemasan. Temuan ini memunculkan keprihatinan mendalam, terutama karena minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Dengan berkurangnya isi tanpa pemberitahuan yang jelas di kemasan, konsumen secara langsung dirugikan, baik dari segi ekonomi maupun hak-hak mereka sebagai pembeli.
Dalam peraturan yang berlaku, terdapat batas toleransi tertentu dalam takaran produk kemasan. Namun, ketika pengurangan isi melebihi batas yang ditentukan, hal ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, produsen wajib memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur terkait isi produk yang dijual. Jika pengurangan takaran ini dilakukan dengan sengaja untuk mengurangi biaya produksi atau meningkatkan keuntungan, maka produsen atau distributor yang terlibat dapat dijerat dengan Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen yang ancaman hukumannya berupa pidana penjara maksimal 5 tahun atau denda hingga Rp 2 miliar.
Selain itu, Pasal 378 KUHP tentang Penipuan juga bisa diterapkan jika ditemukan adanya unsur kesengajaan dalam praktik ini. Konsumen berhak menerima produk sesuai dengan yang tertera di kemasan, dan setiap penyimpangan tanpa pemberitahuan dapat dianggap sebagai upaya manipulasi yang merugikan publik. Jika praktik seperti ini terus dibiarkan, dampaknya bisa lebih luas daripada sekadar kerugian finansial bagi konsumen. Kepercayaan masyarakat terhadap produk bersubsidi seperti MinyaKita bisa semakin menurun, bahkan menciptakan potensi krisis kepercayaan terhadap kebijakan pemerintah dalam menjamin kebutuhan pokok rakyat.
Lebih jauh lagi, jika produsen dan distributor nakal terus melakukan praktik ini, maka persaingan pasar menjadi tidak sehat. Produsen yang jujur bisa kalah bersaing karena harga produknya terlihat lebih mahal, padahal sebenarnya mereka memberikan takaran yang sesuai. Akibatnya, mekanisme perdagangan menjadi tidak adil dan bisa memicu ketidakstabilan harga di pasar dan jika dibiarkan dalam jangka panjang, masyarakat bisa semakin skeptis terhadap standar produk yang mereka konsumsi. Jika minyak goreng yang merupakan kebutuhan dasar saja tidak bisa dijamin kejujurannya, bagaimana dengan produk-produk lain yang lebih kompleks?
Langkah Hukum dan Pengawasan yang Harus Ditingkatkan
Untuk mencegah kasus serupa terjadi kembali, pemerintah harus memperkuat pengawasan distribusi dan produksi MinyaKita serta minyak goreng kemasan lainnya. Inspeksi dan sidak harus dilakukan lebih sering dan menyasar berbagai titik distribusi, termasuk toko-toko ritel di luar pasar utama.
Selain itu, perlu ada ketegasan dalam penegakan hukum. Jika produsen terbukti melakukan pengurangan takaran secara sengaja dan sistematis, maka sanksi harus diberlakukan tanpa kompromi seperti sanksi pidana dan juga blacklist perusahaan agar menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Penarikan produk yang tidak sesuai standar harus segera dilakukan untuk memastikan bahwa hanya barang yang memenuhi regulasi yang beredar di pasaran.
Di sisi lain, konsumen juga perlu diberdayakan agar lebih kritis dalam memilih produk. Masyarakat harus lebih teliti dalam memeriksa takaran dan kualitas produk yang mereka beli. Jika ada kecurangan yang ditemukan, laporan harus segera dibuat kepada instansi terkait agar bisa segera ditindaklanjuti.
Kesimpulan
Kasus MinyaKita yang tak sesuai takaran di Kota Balikpapan menunjukkan bahwa masih ada celah dalam pengawasan produk kebutuhan pokok di Indonesia. Kecurangan dalam takaran bukan sekadar masalah teknis, tetapi merupakan bentuk kejahatan ekonomi yang merugikan masyarakat secara luas.
Tanpa pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang tegas, praktik semacam ini akan terus terjadi dan semakin membebani konsumen. Pemerintah, aparat hukum, dan masyarakat harus bersinergi dalam menciptakan pasar yang adil dan transparan. Minyak goreng yang kita beli harus benar-benar sesuai dengan yang tertera di kemasan, bukan sekadar angka yang dimanipulasi.
Advokat & Politikus*)