HEADLINEKALTIM.CO, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto kini tengah menghadapi sorotan terkait kabinetnya yang dinilai lebih gemuk dibandingkan kabinet sebelumnya. Dalam Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya, jumlah kementerian dan lembaga mengalami peningkatan signifikan jika dibandingkan dengan Kabinet Indonesia Maju di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Saat Jokowi menjabat, kabinetnya terdiri dari 34 kementerian. Namun, di era Prabowo, jumlah tersebut melonjak hingga 48 kementerian, sebuah perubahan yang memunculkan pertanyaan besar terkait efisiensi dan pengelolaan anggaran negara. Hal ini menjadi sorotan utama karena, selain jumlah kementerian yang meningkat, anggaran negara juga menjadi tantangan bagi pemerintahan baru ini.
Dilansir Detik.com, kenaikan jumlah lembaga dalam Kabinet Merah Putih menjadi perbincangan hangat di kalangan pengamat politik dan ekonomi. Peningkatan jumlah kementerian ini dinilai tidak hanya menambah beban birokrasi, tetapi juga berdampak langsung pada pengelolaan anggaran negara. Pada kabinet Jokowi, dengan 34 kementerian, penyusunan anggaran masih lebih sederhana dibandingkan dengan kabinet Prabowo yang memiliki 48 kementerian.
Pengamat ekonomi menilai, semakin banyak kementerian, semakin besar pula alokasi anggaran yang harus disiapkan pemerintah. Ini tentunya menjadi tantangan bagi Presiden Prabowo, mengingat APBN 2025 sudah ditetapkan sebelumnya oleh Jokowi dalam Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang APBN 2025.
Dalam APBN 2025, anggaran yang disiapkan masih berdasarkan jumlah lembaga di era Kabinet Indonesia Maju, yang hanya mencakup 34 kementerian. Pertanyaannya, apakah Prabowo akan menyesuaikan alokasi anggaran tersebut dengan perubahan jumlah kementerian yang ada?
Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang APBN 2025 yang menjadi landasan anggaran negara pertama di bawah kepemimpinan Prabowo sebenarnya disusun pada masa akhir pemerintahan Jokowi. UU ini ditandatangani oleh Jokowi pada 17 Oktober 2024, hanya beberapa hari sebelum pemerintahan Prabowo resmi dimulai. Dalam undang-undang tersebut, anggaran belanja negara untuk tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp 3.621 triliun, dengan rincian Rp 2.701 triliun untuk belanja pemerintah pusat dan Rp 919 triliun untuk transfer ke daerah (TKD).
Meski anggaran tersebut disusun dengan asumsi jumlah kementerian dan lembaga di era Jokowi, undang-undang ini memberikan fleksibilitas bagi Prabowo untuk melakukan perubahan melalui Peraturan Presiden (Perpres). Dalam pasal 8 ayat 5 UU APBN 2025 disebutkan bahwa rincian anggaran masih bisa diubah oleh pemerintah jika diperlukan, dan perubahan tersebut dapat dilakukan melalui Perpres.
Namun, tantangan terbesar bagi Prabowo adalah bagaimana mengelola anggaran negara yang telah ditetapkan dengan baik, mengingat jumlah kementerian yang lebih banyak memerlukan penyesuaian anggaran yang tidak sedikit.
Dengan jumlah kementerian yang lebih besar, otomatis kebutuhan anggaran untuk membiayai operasional kementerian juga meningkat. Anggaran belanja pemerintah pusat sebesar Rp 2.701 triliun akan digunakan untuk belanja kementerian dan lembaga yang sekarang lebih banyak. Pos ini mencakup belanja menurut fungsi, organisasi, dan program.
Kebutuhan anggaran yang lebih besar ini menimbulkan pertanyaan mengenai efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Apakah peningkatan jumlah kementerian akan berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pelayanan publik? Atau justru sebaliknya, peningkatan ini akan menjadi beban bagi APBN 2025?
Selain itu, anggaran transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 919 triliun yang mencakup dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana otonomi khusus, dan dana desa juga harus dikelola dengan bijak agar tidak terganggu oleh perubahan-perubahan anggaran di tingkat kementerian pusat.
Artikel Asli baca di Detik.com
Berita Terkini di Ujung Jari Anda! Ikuti Saluran WhatsApp Headline Kaltim untuk selalu up-to-date dengan berita terbaru dan Temukan berita populer lainnya di Google News Headline Kaltim