HEADLINEKALTIM.CO, SAMARINDA – Anggota DPRD Kaltim Dapil Kutim, Bontang, Berau Agil Suwarno angkat suara mengenai musibah banjir yang melanda 3 kecamatan di Kabupaten Kutim, yang merendam 18 desa dan sebanyak 1.987 KK ikut terdampak.
Dia menyebut, musibah banjir yang terjadi di wilayah pemilihannya tersebut adalah fenomena yang terjadi setiap 10 tahunan. Selain tingginya curah hujan sejak beberapa hari lalu di daerah Hulu Kutim, faktor alih fungsi lahan perhutanan menjadi pertambangan batubara dan perkebunan ditenggarai menjadi penyebab terjadinya musibah tersebut.
“Fenomena banjir di Kutim, fenomena 10 tahunan. Memang banyak faktor, kalau kondisi riil, memang di Hulu lagi musim hujan yang tidak berhenti-henti. Kemudian tidak bisa dipungkiri akibat perkebunan. Memang ada dampak. Gundulnya hutan yang menyebabkan daya serap air berkurang, memungkinkan permukaan tanah kurang menyerap dengan baik, sehingga dampak banjir terjadi,” ucapnya saat dihubungi headlinekaltim.co melalui telepon Minggu malam, 23 Mei 2021.
Terkait isu dugaan mengenai penyebab banjir karena adanya aktivitas tambang batubara, Agil Suwarno tak memungkiri hal itu.
“Ya, penyebab tambang bisa terjadi. Kemudian perkebunan bisa terjadi. Daya serap permukaan tanah kita tidak seperti jaman hutan lebat. Salah satu yang tidak bisa kita pungkiri dari pertambangan, perkebunan itu juga punya andil. Walaupun mereka menanam pohon, misalkan sawit. Tapi berbeda waktu ketika daerah itu ada tanaman hutan,” sebutnya.
Anggota Komisi I DPRD Kaltim ini menjelaskan, kondisi banjir di daerah Muara Ancalong ketinggian air bahkan mencapai 5 meter. Secara geografis, mayoritas pemukiman penduduk di daerah terendam banjir berada di sekitar tepi sungai dan terletak di pedalaman.
Dengan mayoritas akses jalan ke lokasi masih jalan tanah. Namun dengan terjadinya banjir seperti saat ini, akses jalan tersebut berubah menjadi sungai yang hanya bisa dilalui dengan menggunakan perahu atau sampan.
Agil Suwarno mengatakan, tak mudah untuk sampai di lokasi banjir terlebih saat ini. Jarak tempuh jika dari Sangatta hingga ke daerah Batu Ampar, Muara Bengkal, Muara Ancalong harus ditempuh dengan perjalanan sekitar 7 jam perjalanan.
“Kalau di Muara Ancalong, tingginya (banjir, red) 5 meter. Kalau kemarin saya tanggal 17 Mei ada di Muara Bengkal, memang saat itu air sedang naik-naiknya. Kalau saat itu 1 jam saja saya tidak keluar dari Muara Bengkal, mungkin tidak bisa keluar,” ujarnya menceritakan pengalamannya beberapa menit sebelum musibah banjir terjadi.
“Kalau dilihat riilnya, memang daerah-daerah yang dekat sungai (daerah yang mengalami banjir, red), sehingga berdampak pada pemukiman masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, masyarakat kita yang tinggal di Hulu ini banyak tinggal di tepi sungai, aktivitas juga dekat sungai, sehingga otomatis rumah mereka terendam. Akses di sana saat ini sulit dijangkau, karena sebagian besar tertutup air, jadi tidak bisa lewat. Tapi kesana bisa menggunakan transportasi perahu, sampan. Selain itu jarak tempuh juga semakin jauh karena lokasinya berada jauh di pedalaman,” bebernya.
Dengan terjadinya musibah banjir ini, Agil Suwarno berharap perhatian Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi cepat dan tanggap untuk mengatasi, membantu warga. Terutama dalam hal bantuan kebutuhan pokok.
“Yang saya dapat informasi, Pemerintah Daerah sudah memberikan bantuan untuk penanganan banjir. Kemudian bantuan sembako. Saya pikir pihak swasta juga ada, otomatis harus kita suport agar masyarakat tidak kekurangan pangan,” kata Agil.
“Kalau penanganan banjir sendiri memang perlu jangka panjang, tapi yang mendesak adalah kebutuhan pangan. Artinya harus kita suport, karena aktivitas warga pasti terganggu, mereka tidak bisa lagi ke ladang dan sebagainya. Mau tidak mau, Pemerintah Provinsi dan Pemerintahan Daerah harus turun tangan membantu masyarakat yang tertimpa musibah di sana,” tambahnya. (Advetorial)
Penulis : Ningsih