src="https://news.google.com/swg/js/v1/swg-basic.js">
HEADLINEKALTIM.CO, SAMARINDA – Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan pemberlakuan UU Cipta Kerja (Ciptaker).
Perppu Pembatalan UU Ciptaker diperlukan sebagai langkah konstitusional yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Ini sekaligus memberikan kepastian hukum dan memperlihatkan kepekaan Pemerintah dalam mendengar aspirasi rakyat. Lebih dari itu, di tengah situasi mendesak akibat bencana non-alam pandemi Covid-19,” kata Herdiansyah Hamzah, akademisi dari Fakultas Hukum Unmul yang turut bertanda tangan dalam Aliansi penolakan tersebut.
Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law dibentuk bersama oleh 432 akademisi dari 119 Perguruan tinggi di Indonesia dan 3 Perguruan tinggi luar negeri, dari berbagai latar belakang keilmuan. Hingga kini jumlah akademisi yang bergabung terus bertambah.
“”Sudah seharusnya Pemerintah berfokus pada agenda penyelamatan nyawa dan hak-hak warga yang hari ini kita tahu semua warga negara sedang menghadapi pandemi Covid-19,” kata Castro sapaan akrab Herdiansyah Hamzah membacakan sikap Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law.
Dikatakan Castro, Aliansi ini mendesak Presiden Jokowi untuk tidak menggunakan cara-cara represif dan melanggar hak asasi manusia dalam menangani ekspresi politik warga yang menolak UU Ciptaker.
“Bagaimanapun, langkah aksi atau demonstrasi tersebut juga merupakan langkah konstitusional warga menggunakan kebebasan ekspresi, berkumpul dan menyampaikan pendapat. Semoga didengar, dan Presiden Jokowi mempertimbangkannya,” kata Castro.
Diketahui bersama, penolakan UU Ciptaker meluas di berbagai penjuru tanah air. Benturan dan kekerasan yang terjadi dalam aksi maupun penanganan aksi cukup banyak terjadi. Sehingga banyak pula massa aksi menjadi korban dan rusaknya fasilitas-fasilitas umum.
“Kami sangat khawatir dengan jatuhnya korban nyawa, terlebih di tengah pandemi Covid-19. Tentu angka penularan atau penyebaran Covid-19 diperkirakan melonjak dan menyulitkan pengendalian Covid-19,” kata Castro.
Penolakan Omnibus Law ini dinilai akibat proses pembentukan hukum yang tidak lazim atau nirketerbukaan. Sejak proses pembentukan awal hingga pengesahannya di Rapat Paripurna DPR RI.
“”Secara substansi Omnibus Law RUU Cipta Kerja menyisakan begitu banyak masalah yang hingga kini masih menunjukkan belum bisa diterima publik secara luas, baik oleh kaum buruh, petani, masyarakat adat, organisasi keagamaan, hingga kalangan akademisi yang tergabung dalam aliansi ini,” kata Castro.
Penulis: Amin