Oleh: MUH HULDI AMAL
“Mereka yang gagal belajar dari sejarah, ditakdirkan untuk mengulanginya”. (George Santayana)
TAHUN 2020. Sejak awal Maret. Halaman koran, medsos, dan media siber tak pernah pupus bercerita virus. Pandemi COVID-19 memberi kita kisah derita. Angka kematian, pengangguran, dan kisah kebangkrutan. Bahkan, korupsi! Bagaimana cara kita mengenang hari-hari pandemi sepanjang tahun kemarin? Di antara kita masih menyalakan kembang api di malam pergantian tahun, bukan? Merayakannya dengan pesta barbeque?
Sejak berabad-abad, manusia telah bertarung dengan kuman, patogen, dan mikroba. Bibit penyakit. Sayangnya, manusia juga mengidap penyakit kronis. Daya ingat pendek. Soal sejarah. Mungkin ini penyebabnya, atau barangkali akibat; sejarah kerap disajikan dalam cara pandang glorifikasi. Terlalu mengagung-agungkan. Ujung-ujungnya, menyederhanakan. Kejayaan, kemuliaan, kepahlawanan adalah narasi panjang setiap sejarah. Semacam piramida. Orang tergerak segera mencari pandang ke puncaknya. Lupa, pondasi kokohnya mengorbankan tak terhitung kaum jelata.
Siapa yang ingat, setidaknya memilih ingat, sejarah penaklukan Benua Amerika oleh penjajah Eropa. Bukan melulu keunggulan bedil dan peluru. Bukan polah si komandan pemberani. Sebanyak 20.000 tentara aktif Suku Inca memang gemetar mendengar dentuman senjata. Terkencing-kencing melihat kuda, binatang tunggangan para penakluk Spanyol, pada kesempatan pertama. Faktanya, hampir 80 persen penduduk imperium Inca justru musnah karena virus yang dibawa kaum penjelajah berkulit putih.
Virus adalah penanda peradaban, kata Jared Diamond. Pandemi, baik tersebab virus atau bakteri, selalu berulang. Sejarah memberi kita setumpuk bukti. Ada kolera, cacar dan ‘Black Death’, wabah pes yang memakan hingga 200 juta jiwa selama kurun 1346-1353. Ada Ebola dan SARS pada tahun 2003. Bahkan, di Kalimantan, ada virus Nipah yang ditularkan dari hewan ternak. Mortalitasnya cukup tinggi.
Dengan tingginya mobilitas orang antarnegara, dipermudah oleh kecanggihan moda transportasi, sesungguhnya peradaban kita kian rentan. Risiko penularan virus dan perpindahan bibit penyakit adalah harga mahal yang harus dibayar. Pertanyaannya, apakah kita semakin waspada? Atau sesungguhnya, zaman makin maju tapi mental kita tetap era kolonial?
Coba ingat-ingat. Saat pandemi COVID-19 mulai merebak di China, lalu terlacak di sejumlah negara, bagaimana respon awal pemerintah? Sebuah riset universitas ternama dunia yang menyebut virus corona sudah ada di Indonesia, hanya ditertawakan. Bahkan, dalam rapat di gedung Senayan bersama Sang Menteri Kesehatan, seorang politikus melontarkan guyon. “Komunitas Rondo (Jawa: janda) Memesona”. Dia meng-akronim-kan korona. Semua terpingkal.
MENTAL KOLONIAL
Sikap meremehkan dan tak bersiap, memang khas warisan era kolonial. Ravando (2020) dalam bukunya Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919, mengisahkan bagaimana pandemi Flu Spanyol merenggut 4,37 juta jiwa masyarakat Hindia Belanda. Jumlah itu, khusus untuk Pulau Jawa dan Madura. Terbatasnya sumber daya, baik sektor kesehatan dan infrastruktur lain di masa itu, membuat data valid jumlah korban di seluruh wilayah Indonesia masa kolonial, sulit dipastikan.
Banyaknya korban jiwa, juga sebermula dari sikap pemerintah Hindia Belanda yang mengabaikan informasi awal soal keganasan virus H1N1. Meskipun disebut Flu Spanyol, penelitian membuktikan virus ini bermula dari Amerika Serikat dan menyebar ke seluruh dunia di masa Perang Dunia I. Virus tersebut awalnya tak bisa diteliti karena terlalu kecil. Mikroskop di masa itu tak cukup canggih untuk mengintipnya. Belakangan, H1N1 dikenal sebagai ‘mother of all pandemic’ (ibu dari segala pandemi). Sebab, pandemi flu setelah 1918 adalah turunan dari virus ini. (Ravando, halaman 31).
Awalnya, Pemerintah Hindia Belanda menyebut penyakit ini tidak berbahaya. Sidang Volsksraad (Dewan Rakyat) di masa itu tak pernah menjadikan pandemi Flu Spanyol jadi pembahasan serius. Hanya ada seorang dokter pribumi, anggota dewan, dr Rivai yang getol berpolemik. Menyoal isu ini. Dewan Rakyat baru bersidang dengan agenda khusus membahas Flu Spanyol ketika pandemi mematikan tersebut memasuki gelombang kedua pada November 1918. Saat ribuan nyawa sudah direnggut virus.
Puncak gelombang kedua pandemi ini terjadi sekitar Oktober-Desember 1918. Daya rusaknya lebih destruktif. Disebutkan, di Jawa dan Madura, sudah ada 402.163 kematian akibat Flu Spanyol hanya selama November. Bagaimana dengan wilayah lainnya?
Di Borneo, selama gelombang kedua, nyaris tidak ada wilayah yang luput dari Flu Spanyol. Jumlah korban berjatuhan. Di Banjarmasin korban tewas sebanyak 5.191 orang, Hulu Sungai mencapai 11.907 jiwa meninggal, Kuala Kapuas 1.184 korban jiwa, Tanah Dusun 182 orang. Di Kota Samarinda, Ibu Kota Kaltim, tercatat 2.900 korban jiwa meninggal karena pandemi Flu Spanyol di masa kolonial.
MENUNGGU VAKSIN
Pada 31 Desember 2019, tidak ada kasus COVID-19 di luar China. Tapi, saat ini lebih dari 82 juta lebih kasus infeksi dan 1,5 juta kasus kematian. Apa artinya? Kita mungkin sedikit lebih beruntung. Dibandingkan masa pandemi Flu Spanyol yang juga tak ada obatnya kala itu, infrastruktur saat ini jauh lebih baik. Setidaknya masalah perumahan, sanitasi, dan faktor lingkungan tak berkelindan dengan pandemi. Di masa kolonial, malaria, kolera dan pes ikut berpesta, menyumbang tingginya angka mortalitas.
Faktor gizi ikut mendongkrak imunitas tubuh warga saat ini. Setidaknya, tak ada ancaman kelaparan di depan mata. Petani kita masih bisa membajak sawah. Kondisi berbeda saat Flu Spanyol mengamuk. Ribuan hektare lahan sawah telantar. Sebab, petani yang terpapar influenza di pagi hari, malam harinya terkulai tak mampu berdiri. Harga pangan mencekik. Ada kisah warga, di depan matanya, satu per satu anggota keluarganya mati. Dia memilih gantung diri.
Kini, infrastuktur kesehatan memadai. Jumlah dokter dan tenaga medis cukup banyak, meskipun sebagian dari mereka jadi martir COVID-19. Dulu, dokter langka di Hindia Belanda. Mereka kewalahan melayani ribuan pasien Flu Spanyol. Dokter turut jadi korban. Akibatnya, banyak penderita memilih perdukunan. Mengandalkan ramuan tradisional.
Sekarang, orang lebih mudah mendapatkan masker. Fasilitas karantina berlimpah. Yang lebih menggembirakan, kemajuan sains. Penemuan vaksin COVID-19. Program vaksinasi akan dilakukan pada awal tahun ini.
Jangan senang dulu. Vaksinasi bagi seluruh penduduk bumi masih akan mendapat tantangan. Di tengah produksi massal vaksin, muncul berita soal varian baru virus. Memang, semua produsen mengklaim, produk vaksin mereka tetap efektif menghadapi virus yang bermutasi.
Kabar buruknya, virus hasil mutasi itu punya daya tular lebih cepat. Ini juga sumber kekhawatiran Direktur Jenderal WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus kala menyebut, butuh waktu untuk memberi imunitas hasil vaksinasi COVID-19 kepada seluruh populasi spesies homo sapiens.
Program vaksinasi akan dimulai bertahap. Dari kelompok paling rentan. Selama proses itu, WHO mengingatkan agar kita tak terlena. Segala upaya yang sudah dicoba dan diuji, harus tetap dilaksanakan. Itu artinya, protokol kesehatan seperti penggunaan masker, social distancing, hingga cuci tangan masih jadi jurus andalan.
Yah, pelajaran dari Flu Spanyol masih relevan. Saat tahun 1918 berakhir, angka kasus memang mulai melandai di Pulau Jawa. Namun, pandemi terus berlanjut pada tahun baru. Hingga beberapa bulan pada tahun 1919, virus masih merajalela di kawasan Indonesia bagian Timur.
Catatan resmi pemerintah Hindia Belanda, ada sejumlah hal yang menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas tinggi di kalangan warga. Selain faktor imunitas dan penularannya sangat cepat, tingkat kesadaran penduduk sakit untuk mengisolasi diri sangat rendah. Mereka tetap ke pasar, bekerja, hingga menularkan virus ke orang sehat.
Hari-hari ke depan, kita masih akan menutup ruang kelas. Sebagian anak-anak tetap akan belajar daring. Jauhilah kerumunan. Tetap jaga jarak. Rajinlah cuci tangan. Kita belum tahu pasti kapan COVID-19 berakhir. Semoga tak ada puncak gelombang kasus yang selanjutnya.
Selamat Tahun Baru 2021! Ini tahun pengharapan. Mengutip kata-kata Tedros soal vaksin, “Ada cahaya di ujung terowongan…”
*)Penulis adalah Pemimpin Redaksi headlinekaltim.co