HEADLINEKALTIM.CO, JAKARTA – Pilkada serentak 2024 akan menjadi ajang yang menarik karena di beberapa daerah dengan calon tunggal, pilihan “kotak kosong” bisa menjadi penentu. Namun, apa yang terjadi jika kotak kosong menang dalam perolehan suara? Siapa yang akan memimpin daerah tersebut, dan bagaimana mekanisme pemilihan berikutnya?
Dilansir Detik.com, jika kotak kosong berhasil mengalahkan calon tunggal dalam Pilkada 2024, maka daerah tersebut akan dipimpin oleh seorang Penjabat (Pj) sementara. Ketua Divisi Teknis KPU RI, Idham Holik, menjelaskan bahwa mekanisme ini mengikuti ketentuan dalam Pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
“Jika pasangan calon tunggal tidak mendapatkan suara sah lebih dari 50 persen dan tidak melampaui batas ketentuan, maka akan diadakan pemilihan pada tahun selanjutnya, yaitu 2029,” jelas Idham Holik di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Jumat (30/8).
Selama masa ini, pemerintahan daerah akan dipegang oleh Pj sementara hingga pelaksanaan pilkada ulang.
Idham juga menjelaskan bahwa kotak kosong dalam surat suara adalah opsi bagi pemilih yang tidak mendukung calon tunggal. Meskipun hanya ada satu pasangan calon, KPU tetap akan melakukan pengundian nomor urut untuk memastikan pelaksanaan pilkada berjalan sesuai prosedur. Pengundian nomor urut ini dijadwalkan pada 23 September 2024.
“Walaupun pasangan calon tunggal, KPU akan melakukan pengundian apakah calon tunggal ini mendapatkan nomor urut 1 atau nomor urut 2,” tambah Idham.
KPU mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dalam menentukan jadwal pilkada ulang. Sesuai dengan Pasal 54D ayat 3, terdapat dua opsi untuk melaksanakan pilkada ulang: pada tahun berikutnya (2025) atau sesuai dengan jadwal keserentakan pilkada, yakni pada tahun 2029.
Hingga saat ini, KPU belum menetapkan jadwal resmi untuk pilkada ulang. KPU masih harus berkonsultasi dengan DPR terkait hal ini. Idham Holik menekankan bahwa keputusan ini akan diambil setelah konsultasi dengan pembuat undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah.
“Kami akan berkonsultasi dengan DPR dalam waktu dekat untuk membahas Pasal 54D ayat 3 di UU Nomor 10/2016,” katanya pada Minggu (2/9/2024).
Idham juga menekankan pentingnya mengadakan pilkada ulang lebih cepat, pada 2025, untuk memastikan daerah memiliki kepala daerah definitif tanpa menunggu terlalu lama. Ia menekankan bahwa pilkada merupakan aktualisasi kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin daerah mereka.
Namun, jika opsi pilkada ulang diundur hingga 2029, maka daerah akan dipimpin oleh penjabat sementara selama lima tahun. Hal ini dikhawatirkan dapat menghambat pembangunan daerah karena keterbatasan kewenangan pejabat sementara.
Titi Anggraini, anggota Dewan Pembina Perludem, menegaskan perlunya pilkada ulang dilaksanakan pada 2025 jika kotak kosong menang. Titi menilai bahwa menunda pilkada hingga 2029 akan menghambat proses pembangunan dan melanggar hak rakyat untuk memiliki pemimpin definitif.
“KPU harus menjadwalkan pilkada ulang jika calon tunggal kalah pada tahun berikutnya. Sebab memiliki pemimpin daerah definitif adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara melalui fasilitasi KPU,” tegas Titi kepada wartawan, Minggu (1/9).
Menurut Titi, mengadakan pilkada ulang pada 2029 bukanlah pilihan yang masuk akal dan dapat menyebabkan kekosongan kepemimpinan definitif yang berkepanjangan di daerah tersebut.
Keputusan akhir mengenai jadwal pilkada ulang bagi daerah yang memenangkan kotak kosong masih harus menunggu hasil konsultasi antara KPU dan DPR. Peraturan KPU tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara serta Peraturan KPU tentang Rekapitulasi Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan akan menjadi acuan dalam penetapan kebijakan ini.
Artikel Asli baca di Detik.com
Berita Terkini di Ujung Jari Anda! Ikuti Saluran WhatsApp Headline Kaltim untuk selalu up-to-date dengan berita terbaru dan Temukan berita populer lainnya di Google News Headline Kaltim