Oleh : Agung Wicaksono, SH)*
Mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang berbagai macam kenakalan remaja dan juga perbuatan-perbuatan remaja yang diluar kewajaran yang mengakibatkan mereka berhadapan dengan hukum, seperti : mencuri, memperkosa, perundungan yang mengakibatkan kematian, sampai kasus pembunuhan yang dilakukan remaja pun ada di negeri ini.
Bahkan, kejadian viral saat ini ketika siswa kelas V SD di Tasimalaya yang dipaksa bersetubuh dengan kucing dan korban meninggal dunia. Lantas apakah anak berhadapan dengan hukum ini dapat dikenai hukum sesuai undang-undang? Apabila dipenjara apakah hukuman yang dijatuhkan sama dengan orang dewasa ? Apakah tata cara persidangan di pengadilan sama dengan orang dewasa?
Pasti setiap orang tua menginginkan anak-anaknya menjadi anak yang sukses, berbakti pada orangtua, agama dan bangsa. Namun, terkadang ada sebagian orangtua yang terlalu jauh berharap pada anaknya sehingga hasilnya diluar dari ekspektasi orangtua itu sendiri. Di usia remaja seorang anak cenderung ingin mencari jati diri dan juga mencoba sesuatu hal yang baru.
Sebagian besar anak melakukannya dengan positif tetapi ada sebagian anak yang melakukannya dengan cara-cara yang negatif seperti tawuran, membuat perkumpulan gengster, melakukan pencurian, mabuk-mabukkan, pembunuhan dan lain sebagainya yang mengakibatkan mereka harus berhadapan dengan hukum.
Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang melakukan atau diduga melakukan tindak kriminal dan mereka dituntut untuk bertanggung jawab di hadapan hukum atas perbuatannya sehingga mereka harus terlibat dalam proses hukum seperti penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dan sidang pengadilan.
Anak yang berhadapan dengan hukum merupakan anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana sehingga mereka juga mempunyai hak-hak seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta untuk sistem peradilannya sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam hukum peradilan anak, suatu persidangan adalah jalan terakhir yang bisa ditempuh apabila tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalahnya dikarenakan ada beberapa alternatif penyelesaian masalah anak yang berhadapan dengan hukum ini seperti keadilan restoratif dan diversi.
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan, sedangkan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Apabila sudah tidak ada jalan lain maka peradilan pidana adalah jalan terakhir untuk mendapatkan keadilan bagi korban. Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap anak dalam tingkat pertama dilakukan dengan hakim tunggal.
Namun, Ketua Pengadilan dalam pemeriksaan perkara anak dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam pidana penjara 7 tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya. Hakim dalam memeriksa perkara anak dalam sidang anak dinyatakan tertutup untuk umum kecuali pembacaan putusan.
Kemudian dalam proses persidangan (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak) Hakim wajib memerintahkan orang tua/wali atau pendamping atau pemberi bantuan hukum lainnya; dalam hal orang tua, wali atau pendamping tidak hadir, sidang dilanjutkan dengan didampingi advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan atau pembimbing kemasyarakatan. Bahwa pada saat memeriksa anak korban atau anak saksi, hakim dapat memerintahkan agar anak dibawa keluar (Pasal 58 Undang-Undang R.I. Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Dalam hal anak korban atau anak saksi tidak dapat untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan, hakim dapat memerintahkan anak korban atau anak saksi didengar keterangannya di luar persidangan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan dengan dihadiri penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau pemberi bantuan hukum, melalui pemeriksaan jarak jauh atau teleconference (Pasal 58 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Hakim sebelum menjatuhkan putusan memberikan kesempatan kepada orang tua/wali/pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi anak, kemudian pada saat pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh anak.
Penjatuhan hukuman terhadap anak yang berkonflik hukum dapat dikenakan pidana dan tindakan, dan anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Bahwa terhadap anak yang berkonflik hukum yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan bukan pemidanaan, yang meliputi pengembalian kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, dan perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), kewajiban mengikuti pendidikan formal dan atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta dan pencabutan Surat Izin Mengemudi, dan perbaikan akibat tindak pidananya.
Sedangkan anak yang sudah berusia 14 tahun ke atas tersebut dapat saja dijatuhi pidana dengan macam-macam pidana sebagaimana dalam Pasal 71 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni sebagai berikut:
Pidana pokok yang terdiri dari :
a. pidana peringatan;
b. pidana bersyarat (pembinaan pada lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan);
c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga dan penjara;
Pidana tambahan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pemenuhan kewajiban adat.
Apabila dalam hukum materil seorang anak yang berkonflik hukum diancam pidana kumulatif berupa pidana penjara dan denda, maka pidana denda diganti dengan pelatihan kerja paling singkat 3 bulan dan paling lama 1 tahun.
Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama ½ dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa (Pasal 79 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), sedangkan terhadap ketentuan minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak (Pasal 79 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Penahanan terhadap anak yang berkonflik hukum ditempatkan pada Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), sedangkan tempat anak menjalani masa pidananya ditempatkan pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Kemudian terhadap tempat anak mendapatkan pelayanan sosial berada pada Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
Terhadap putusan Hakim pada tingkat pertama, baik anak yang berkonflik hukum mapun Penuntut Umum tentunya dapat melakukan upaya hukum selanjutnya yakni banding, kasasi dan peninjauan kembali. Terhadap anak yang diajukan sebagai anak yang berkonflik hukum, yakni anak korban dan anak saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Seorang anak memiliki pemikiran yang berbeda antara anak yang satu dengan anak yang lainnya, sehingga peran orangtua adalah memahami karakter anak tersebut tanpa harus membanding-bandingkan dengan anak yang lain.
Biarkan mereka beraktifitas dan mencari jati diri tetapi harus tetap diawasi dan dibimbing oleh orangtua. Berikan edukasi tentang pendidikan karakter dan juga nilai-nilai moral keagamaan.
Semoga tulisan ini dapat memberikan pengertian kepada orangtua dan anaknya bahwa seorang anakpun juga dapat untuk ditindak secara hukum, karena mungkin ada beberapa anak yang menganggap bahwa jika masih di bawah umur maka tidak akan dihukum. Tulisan ini adalah salah satu bentuk edukasi hukum kepada anak, semoga anak-anak kita dapat terhindar dari perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan hukum.
*) Advokat, Politisi Partai Gelora Balikpapan