Fenomena Lidah Api Matahari Terpanjang dalam Sejarah: Menyebabkan Lontaran Massa Koronal Besar Menuju Merkurius

4 minutes reading
Sunday, 21 Jul 2024 13:58 146 Headline

HEADLINEKALTIM.CO – Sebuah fenomena langka dan menakjubkan terjadi di permukaan Matahari baru-baru ini. Salah satu prominensa atau lidah api Matahari terpanjang yang pernah terlihat dalam beberapa tahun terakhir mengakibatkan terjadinya lontaran massa koronal (CME) besar yang bergerak menuju planet Merkurius. Peristiwa ini memicu banyak perhatian dari para ilmuwan dan pengamat langit di seluruh dunia.

Prominensa Matahari, atau yang sering disebut lidah api Matahari, adalah fitur besar yang terbentang dan membentuk loop yang keluar dari permukaan Matahari (fotosfer) hingga ke atmosfer terluar Matahari (korona). Lidah api yang terabadikan kali ini diperkirakan telah mencapai panjang lebih dari 380.000 kilometer, lebih jauh dari jarak antara Bumi dan Bulan.

Meski CME umum terjadi selama periode maksimum aktivitas Matahari, CME kali ini sedikit istimewa. Pertama, CME ini tampaknya bergerak langsung menuju Merkurius. Kedua, beberapa gambar luar biasa berhasil diabadikan oleh para ilmuwan dan pengamat langit, termasuk Solar Dynamics Observatory milik NASA dan Solar and Heliospheric Observatory (SOHO).

Lontaran Massa Koronal (CME) adalah penyebab utama aurora dan aktivitas terkait lainnya di atmosfer Bumi. CME terjadi ketika semburan Matahari mengangkat medan magnet dan plasma dari Matahari, kemudian menembakkannya ke luar angkasa. Namun, tidak semua suar dan bahkan tidak semua suar besar menghasilkan CME, yang membuat aktivitas Matahari sulit diprediksi.

Jika partikel bermuatan dari CME diarahkan ke Bumi, mereka akan disalurkan oleh magnetosfer ke kutub, di mana mereka mengionisasi atom dan melepaskan cahaya saat kembali ke keadaan dasar, menciptakan aurora yang menakjubkan. Namun, tidak demikian halnya dengan Merkurius yang tidak memiliki atmosfer. Sampai baru-baru ini, diperkirakan tidak akan terjadi hal menarik saat CME menghantam Merkurius.

Namun, setahun yang lalu, bukti dipublikasikan yang menunjukkan bahwa CME dapat menyebabkan fenomena serupa dengan aurora di Merkurius, namun dalam spektrum sinar-X. Elektron CME yang mencapai permukaan Merkurius tanpa hambatan menyebabkan batuan di sana berpendar pada panjang gelombang sinar-X, setelah mengompresi magnetosfer planet tersebut.

Pada bulan Maret lalu, sebuah CME besar menghantam Merkurius, dan kini CME lainnya telah menyusul. Diharapkan, fenomena ini akan terus berlanjut, karena pada Desember tahun depan, wahana antariksa BepiColombo akan memasuki orbit Merkurius jika semua berjalan sesuai rencana. Wahana ini telah melakukan tiga kali terbang lintas ke tujuannya, menggunakan gravitasi Merkurius untuk menyesuaikan lintasannya mengelilingi Matahari, seperti yang dilakukannya dua kali terhadap Venus.

Masih ada tiga kali terbang lintas lagi yang harus dilakukan oleh BepiColombo. Data dari salah satu kunjungan singkat ini memberi tahu para astronom tentang fluoresensi sinar-X yang dihasilkan oleh CME. Jadi, jika CME menghantam saat BepiColombo berada di orbit, manfaat ilmiahnya bisa sangat besar. Namun, apakah maksimum aktivitas Matahari akan berlanjut selama itu, masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Solar Dynamics Observatory milik NASA hanya menangkap sebagian CME kali ini karena sedang menjalani kalibrasi. Namun, GOES-16 Solar Ultraviolet Imager milik NOAA dan Solar and Heliospheric Observatory (SOHO) berhasil menangkap seluruh kejadian ini. Meskipun demikian, semua itu bisa dibilang dikalahkan oleh astrofotografer asal Argentina, Eduardo Schaberger Poupeau.

Schaberger Poupeau, yang kerap memenangkan penghargaan astrofotografi, berhasil mengabadikan gambar-gambar spektakuler Matahari di akun Instagram-nya. Salah satu gambar paling menonjol menunjukkan lidah api Matahari yang memanjang lebih dari 380 ribu kilometer. “Meskipun ada turbulensi atmosfer yang sangat besar selama musim dingin, saya berhasil memotret lidah plasma raksasa di Matahari dengan teleskop H-alpha saya,” kata Poupeau dikutip dari Spaceweather.com, Minggu (20/7/2024).

“Saat saya menyaksikannya, tonjolan itu terus membesar dan mencapai ketinggian yang mengagumkan, lebih dari 380 ribu km, lebih dari jarak antara Bumi dan Bulan! Fenomena Matahari ini sungguh spektakuler,” ujarnya. “Lidah plasma raksasa itu memanjang seperti ular api. Besarnya dan keindahan peristiwa ini membuat saya takjub, mengingatkan saya sekali lagi akan keagungan dan kekuatan alam semesta di sekitar kita,” tutupnya.

Fenomena ini menjadi bukti nyata betapa dinamis dan kompleksnya aktivitas Matahari yang terus mempengaruhi lingkungan tata surya kita. Penelitian lebih lanjut tentang CME dan dampaknya tidak hanya penting untuk memahami Matahari, tetapi juga untuk mengantisipasi dampaknya terhadap planet dan wahana antariksa yang berada di sekitar orbitnya.

Tayang di detik.com

 

Berita Terkini di Ujung Jari Anda! Ikuti Saluran WhatsApp Headline Kaltim untuk selalu up-to-date dengan berita terbaru dan Temukan berita populer lainnya di Google News Headline Kaltim

LAINNYA