30.4 C
Samarinda
Thursday, April 18, 2024

Fenomena Kejahatan SEKSTORSI di Masyarakat

Oleh : Agung Wicaksono, S.H)*

Perkembangan teknologi dan digital tentunya memiliki dampak positif di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, tetapi perkembangan tersebut juga dibarengi dengan munculnya berbagai macam kejahatan digital.

Hal tersebut tercermin salah satunya melalui pemahaman bentuk dan upaya menyelesaikan kejahatan di dunia digital yang salah satunya adalah tindak pidana sekstorsi, dimana sekstorsi sendiri banyak orang yang tidak memahami dan menyadari kejahatan tersebut ada disekitar lingkungan mereka, contoh yang paling sering ditemui misalnya ada seseorang yang mengancam korbannya akan menyebarkan video tidak senonoh milik korban jika tidak memberikan uang kepada pelaku.

Melalui tulisan ini, penulis ingin memberikan gambaran tentang kejahatan sekstorsi yang mungkin terjadi di masyarakat beserta ancaman pidananya.

Apa yang dimaksud dengan sekstorsi? Sektorsi adalah salah satu bentuk tindak pidana Malicious Distribution (ancaman distribusi foto/video pribadi) dimana hal tersebut dianggap sebagai kekerasan berbasis gender online (KBPO).

Pelaku sekstorsi mengambil keuntungan terhadap orang lain dengan cara merugikan ataupun memberikan paksaan yang berhubungan dengan seksualitas berupa pemanfaatan konten pornografi korbannya melalui tindakan pemerasan.

Di dalam hukum positif Indonesia, Sekstorsi belum diatur secara khusus di dalam undang-undang. Namun, pelaku sekstorsi tetap dapat dijatuhi pidana seperti yang termuat didalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

Kemudian diatur juga didalam Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 44 Tahun 2008 yang berbunyi “setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat antara lain: persenggamaan (termasuk yang menyimpang), kekerasan seksual, masturbasi (onani), ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi”.

Di dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 Ayat 4 dengan ancaman pidana Pasal 45 yang berbunyi “setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah, demikian bunyi Pasal 45 Ayat 4.

Selain itu pelaku juga dapat dikenakan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang berbunyi “ (1) Setiap Orang yang tanpa hak:

  1. melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar;
  2. mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual diluar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau
  3. melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Lantas bagaimana perlindungan hukum bagi korban sekstorsi ? perlindungan hukum bagi korban sekstorsi sendiri merujuk pada kerugian yang dialami korban, baik materil maupun non-materil.

Jika korban mengalami kerugian materil sebaiknya segera melapor kepada pihak kepolisian agar segera diproses. 

Namun, biasanya korban sekstorsi lebih banyak mengalami kerugian non-materil yang berhubungan dengan psikis atau mental korban, hal tersebut tercermin karena rasa takut dan malu yang dialami oleh korban sekstorsi, terlebih dalam kejahatan ini melibatkan jejak digital yang tentunya lingkup penyebarannya sangat luas. Sehingga dalam hal ini perlindungan hukum yang diberikan bagi para korban kejahatan sekstorsi yaitu melalui hak khusus berupa bantuan medis/psikolog serta rehabilitasi seperti yang termuat didalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 

Demikian tulisan ini dibuat agar kita berhati-hati dalam bersosial media dan bijak dalam menggunakan teknologi agar tidak menjadi korban sekstorsi maupun kejahatan digital lainnya.

Advokat dan Politikus Partai Gelora Indonesia)*

Komentar
- Advertisement -

LIHAT JUGA

TERBARU