23.3 C
Samarinda
Tuesday, November 5, 2024

Sambal Terasi Penyembuh Rindu, Menguar di Udara Negeri Kanguru      

SUARA azan terdengar berbunyi nyaring dari Ponsel milik wanita berparas Asia ini. Semua orang berwajah bule menoleh dan menatap tajam ke arahnya. Bunyi itu muncul dari aplikasi yang tertanam di Ponsel sebagai penanda waktu salat. Salat Zuhur sudah tiba.

Perihal yang biasa-biasa saja bagi kita yang ada di Indonesia, negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Namun, perempuan itu, Norida (48), sedang berada di benua lain, juga sebuah negara, bernama Australia. Dia merasakan benar bagaimana menjadi minoritas di negeri asing.

“Maaf, Mas, handphone saya sedang berbunyi menandakan waktu masuk sholat Zuhur di sini. Suaranya kebetulan keras sekali, ini saya sedang di mal, jadi banyak wajah-wajah bule melirik kaget. Biasanya saya ada di rumah pas jam segini. Lagi beli beberapa kebutuhan rumah,” ungkapnya, sembari  mematikan suara azan yang berasal dari aplikasi tersebut.

Norida bersama suami, beserta anak dan menantu. (foto: istimewa)

Norida, perempuan dari Kota Raja, Tenggarong, merantau ikut suami ke negeri Kanguru. Perkara suara azan amat sensitif di tempat umum. Jika berada di rumah sendiri, dia tentu leluasa menyaring-nyaringkan bunyi panggilan salat itu.

Perjalanan hidup tak ada yang bisa menerka. Pernikahan dengan sang suami membuatnya terdampar ke negeri orang. Dia menikahi Dario Krmek, keturunan Kroasia yang sejak umur 18 tahun berpindah kewarganegaraan Australia.

Lulusan Universitas Kutai Kertanegara (Unikarta) Jurusan Fakutas Ilmu Sosial Politik ini berkisah awal Dario jatuh cinta kala pandangan pertama. Pertemuan pertama keduanya terjadi di Bandar Udara Sepinggan, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.

Dario memberikan secarik kertas bertuliskan nama dan nomor teleponnya. Norida luluh dengan ‘kenekatan’ si bule satu ini. Sejak sembilan tahun lalu, ibu lima anak ini, dua dari pasangan sebelumnya, dan tiga anak lainnya buah hasil perkawinan dengan Dario, memutuskan hijrah ke Australia. Norida meninggalkan karirnya sebagai PNS di Bagian Humas Sekretariat Kabupaten Kutai Kartanegara.

“Saya janda dua anak, usia suami selisih lima tahun lebih muda. Ia bekerja sebagai Processing Engineering tambang emas di Puruk Cahu Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Karena mes pusatnya di Kaltim dan dekat dengan Bandara Sepinggan Balikpapan. Makanya ada jodoh, bertemu. Dia dikirimkan Allah SWT pada waktu yang tepat,” ungkapnya saat berbincang dengan headlinekaltim.co secara daring.

Anak pasangan Almarhum Nordin Adam dan Almarhumah Nor Jannah ini meminta Dario untuk berkhitan dan memeluk agama Islam pada 2006 lalu. Dario berganti nama menjadi Muhammad Darwis.

Setahun setelahnya, Darwis menikahi Norida di Tenggarong. Pria ini dengan penuh tanggung jawab sebagai suami dan ayah, membawa pula dua anak dari hasil pernikahan Norida sebelumnya ke Australia. Putri pertama Norida dari penikahan sebelumnya, kini bekerja sebagai nurse di Melbourne, bahkan menikah pula di sana.

KOMPROMI DENGAN SAMBAL TERASI

Mempertahankan adat budaya asal saat menjalani hidup di negeri orang tidak mudah. Bagaimanapun ada tugas yang harus dilakukan Norida sebagaimana Ibu dengan kultur timurnya.

Soal memasak misalnya. Dia tetap menguatkan citra masakan khas Indonesia pada anak-anaknya yang memiliki setengah lidah bule. Tantangannya, Darwis tak kuat dengan cita rasa pedas. Begitu juga ketika anak-anaknya diajarkan membaca Alquran. Logat Aussie para buah hatinya membuatnya sering tertawa sendiri.

“Ketika kecil saya disebut cabe rawit. Karena pernah sakit parah, lalu sembuh setelah makan sambel terasi dan singkong rebus. Orang tua heran, dan cabe benar-benar keajaiban lain dalam hidup saya. Kalau bikin sambel terasi di sini, jendela hingga pintu dibuka semua. Darwis ampun-ampun. Tak kuat dengan baunya. Dia bisa mati kepedasan, never for him,” tukasnya, tertawa.

Spica Alpahanya Tutuhatunewa yang merupakan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Melbourne-Victoria, Australia, berfoto bareng dengan Norida dan kedua anaknya. (foto: istimewa)

Soal sambel terasi ini, dia pernah memaksa sang  suami berkompromi. Gara-garanya, Norida harus bikin sambel terasi untuk acara buka puasa. “Saya dapat orderan besar dari warga Indonesia di sini,” cerita Norida.

Diakui Norida, rindu adalah penyakit kronis para perantauan. Soal yang satu ini, dia menyiasatinya dengan cara berkumpul dengan keluarga. Seringkali, dia menggelar acara kecil-kecilan dengan anak-anak serta menantunya di akhir pekan. “Kalau mereka sedang tak sibuk,” katanya.

Momen yang paling berharga adalah saat bulan Ramadan. Acara berbuka puasa, salat tarawih berjamaah, hingga merayakan hari raya Idul Fitri dengan belasan kepala keluarga asal Indonesia di Melbourne, sangat membantu dirinya mengobati rindu akan tanah air.

“Saat ayah meninggal dunia, saya tak bisa pulang ke Indonesia karena sehabis melahirkan. Rekan-rekan di sini kemudian berinisiatif mengundang ustaz ke rumah, lalu melaksanakan salat gaib, dilanjutkan membaca yasin dan tahlilan. Nuansa ke-Indonesiaan-nya benar-benar terasa, mengobati rindu,” jelasnya.

MENGUNGSI KARENA PANDEMI

Pandemi COVID-19 jadi momok yang membuat sebagian besar warga Australia panik. Tak terkecuali Norida dan keluarganya. Terlebih saat menyaksikan langsung bagaimana warga memborong stok-stok makanan di pusat perbelanjaan. Hanya dalam hitungan sebulan, stok di sejumlah mal habis.

Bahkan, hanya sepekan, stok makanan sumber utama karbohidrat bisa ludes diborong orang-orang. Ia menunjukan video bagaimana kepanikan yang terjadi saat awal-awal pandemi. “Pandemi membuat orang-orang di Australia mengalami tingkat stres yang sangat tinggi,” bebernya.

Darwis sempat mengalami hal yang sama. Beruntung, keberadaan Norida di sisinya membuat pria ini mengatasi rasa kekhawatirannya. Dengan mentalitas survival, ia menekankan pada suami tentang pentingnya ketenangan. “Saya ajak dia makan sepiring berdua, saya bilang jauh lebih berkah, membuat keluarga jadi tenang dan  bangkit. Jangan sampai oleng,” tuturnya, lagi.

Dia tak henti-hentinya memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT. “Selalu ada jalan keluar,” sahutnya. Ketika di Melbourne begitu parah kasus pandemi, ia bersama anak-anaknya diboyong suami menuju Perth, lantas menyewa sebuah apartemen.  Jarak antara kedua kota tersebut cukup jauh jika ditempuh dengan jalur darat. Lebih jauh tiga jam perjalanan dibandingkan menempuh jalur antara Samarinda ke Pontianak, Kalimantan Barat yang memakan waktu 36 jam.

“Jangan jadikan Covid-19 untuk blame alias menyalahkan Allah! Banyak disini orang yang bunuh diri, butuh kesehatan mental penuh dan itu guna agama.  Di Melbourne semua fasilitas rumah lengkap, di Perth saya harus berjalan kaki ngantar anak-anak sekolah dan belanja. Namun saya nikmati saja, minimal satu hari aktivitas berjalan kaki memakan waktu satu jam, kadang suami merasa kasihan. Insya Allah, awal tahun depan balik lagi ke Melbourne,” ungkapnya, penuh syukur.

Mengenang ke titik awal merantau ke Australia, Norida ingat betul dia tak punya kemampuan verbal Bahasa Inggris yang mapan. Dialek khas Australia, ternyata tidak seperti dialog Bahasa Inggris yang dia bayangkan.

Sebuah kejadian membuat dia menyadari betapa pentingnya penguasaan bahasa. Suatu ketika Darwis tidak ada di rumah karena pekerjaanya di luar kota. Salah satu anaknya sakit. Insting seorang ibu memutuskan Norida bertindak cepat. Dengan kemampuan bahasa terbatas, dia membawa anaknya ke rumah sakit tanpa memikirkan apapun yang menanti di luar sana.

Dengan bahasa Inggris berpadu bahasa isyarat, petugas rumah sakit memahami status emergency yang hendak dijelaskannya.  “Takut sekali awalnya saat pertama di negeri orang, perlahan-lahan ketakutanku berubah jadi ketenangan dan kebahagiaan. Bagaimanapun sebagai manusia kita tetap lagi-lagi hanya hamba-Nya,” ungkapnya.

Ketika ingat masa kecil bersama saudara-saudarnya di Kota Tenggarong, Norida pun mengunggah aktivitas anak-anaknya yang berlidah Aussie belajar salat dan mengaji di akun media sosialnya. “Saya posting di medsos. Agar saudari-saudari saya di tanah air melihat perkembangan keponakannya di sini. Di sana ada ikatan kuat bagi saya dan anak-anak, itulah tanah tumpah darah serta tanah ibu mereka,” ungkapnya lebih jauh.

Meskipun  tak lagi bergelut di sektor publik, Norida tetap menjadi pribadi luar biasa. Wanita yang gemar menulis dan melukis ini, selain menjadi ibu rumah tangga, juga menempuh pendidikan di Early Learning Childhood Education.

Kota Raja, Tenggarong, Kutai Kartanegara, kampung halaman Norida, memang dikenal karena menyimpan peradaban Hindu paling tua di Nusantara. Kini, bagi Norida di perantauan, Kota Raja adalah tentang kerinduan, kebanggaan, kenangan masa kecil, serta harkat dan martabat sebagai orang Kutai di Negeri Kanguru.

Penulis: RJ Warsa

Editor: Emha

 

Berita Terkini di Ujung Jari Anda! Ikuti Saluran WhatsApp Headline Kaltim untuk selalu up-to-date dengan berita terbaru dan Temukan berita populer lainnya di Google News Headline Kaltim

- Advertisement -

LIHAT JUGA

- Advertisement -spot_img

TERBARU

POPULER