Oleh: Yanuardi Syukur)*
Selesai zoom meeting sore ini, di Instagram saya mendengarkan potongan salah satu film yang diadaptasi dari karya Buya Hamka. Di ujung ruangan ini, saya lihat foto Buya Hamka di paling sudut ruangan ini. Saya tiba-tiba jadi tertarik dengan satu kata, yakni ‘perjuangan.’ Ketika Zainuddin dicampakkan oleh Hayati gara-gara miskin, di awal-awal Zainuddin teramat sedih, tapi dia kemudian bangkit dengan berhijrah dari Sumbar ke Jawa.
Kisah Zainuddin dan Hayati itu terkait dengan cinta. Singkatnya, perjuangan cinta seorang lelaki yang terasing yang dihalangi oleh adat istiadat. Tapi, dia tidak meratapi nasib; dia memilih untuk ‘bertebaran di muka bumi’ dengan berhijrah, bekerja keras, hingga dia mencapai apa yang dia harapkan.
Dalam hidup manusia ditantang oleh berbagai masalah yang harus mereka pecahkan. Kunci untuk itu adalah kekuatan jiwa. Siapa yang jiwanya kuat, maka dia bisa bertahan melewati ujian kehidupan tersebut. Sebaliknya, siapa yang jiwanya lemah dia akan mudah putus asa, tak kuasa menghadapi tantangan hidup.
Berbicara perjuangan, kita jadi ingat bahwa dulu kita pernah dijajah. Di masa-masa itu, banyak kesulitan dirasakan masyarakat pribumi, kita tidak berdaya, tapi semangat para pejuang kita terus menyala. Mereka berjuang sesuai dengan kecenderungan dan potensi yang mereka punya; terkadang ada beda jalan, akan tetapi tujuannya sama, yakni Indonesia merdeka.
Di masa-masa sulit, kita semua berjuang untuk mencapai merdeka. Sekarang ini, kita juga lihat masih ada bangsa yang tidak merdeka, dan sedang berjuang untuk mencapai kemerdekaan. Beda cara berjuang itu biasa, sebab dulu juga pejuang kita memiliki cara yang berbeda, akan tetapi tujuan mereka sama.
Waktu masih kuliah jenjang sarjana, saya pernah namakan perpustakaan kecilku dengan nama Pustaka Pergerakan. Kata ‘pergerakan’ bermakna dinamis dan sarat perjuangan. Saya ingat waktu itu hanya pakai lampu 5 watt untuk membaca buku, tapi semangat untuk belajar itulah yang terus saya rawat. Saat sepi, saya main ke lantai atas perpustakaan kampus untuk menyendiri, membuka buku-buku berdebu yang kelihatannya jarang disentuh mahasiswa.
Jika lihat kehidupan Hamka, beliau juga sarat dengan perjuangan. Sebagai ayah banyak anak, ia mengandalkan salah satunya dari menulis. Satu yang dijaga oleh Hamka adalah marwahnya sebagai pejuang keluarga. Sesulit apapun hidup, makan minum anak dan istri tetaplah dari yang halal. Prinsip itu sangat bagus bahwa kendati banyak hal menggiurkan datang depan mata tapi seseorang tetap bisa stabil untuk mendapatkan yang halal saja.
Kemarin saya dengar cerita, katanya para pejuang di salah satu negeri itu tidak ‘maruk’. Jatahnya seberapa itulah yang mereka ambil. Teratur pula. Kadang dalam kondisi yang sulit orang jadi ingin mengumpulkan sesuatu sebanyak-banyaknya, bahkan jatah orang juga diambilnya. Mungkin ada benarnya kalimat yang bilang begini: karakter seseorang akan kelihatan saat ia dalam dua kondisi ini; susah atau senang.
Saat susah, apakah seseorang masih tetap idealis? Kemudian saat kondisi mudah, apakah seseorang tetap idealis pula? Memang tidak mudah untuk bertahan dengan idealisme, sebab orang bisa mencari justifikasi untuk kebutuhan mereka. Akan tetapi, satu hal yang saya lihat cukup penting dalam dua situasi itu–susah atau sedih–adalah pancaran kebahagiaan.
Orang yang tulus, yang ikhlas, itu memancarkan kebahagiaan walaupun mereka sedang susah. Saya pernah ketemu orang di masa lalu, kondisinya biasa-biasa saja akan tetapi kekuatan jiwanya sangat luar biasa. Dia tidak susah tapi dia tetap bahagia. Ada juga yang saya temukan, orang yang berada dalam situasi mudah dan tetap memancarkan kebahagiaan bagi orang lain.
Kalau dipikir-pikir, kesulitan dan kemudahan itu ibaratnya kayak roda yang kadang di atas kadang di bawah. Sepanjang hidupnya, manusia akan menghadapi dua hal itu, dan dua hal itu hanya bisa dihadapi dengan kekuatan jiwa. Setinggi dan semudah apapun hidup kita jika tidak ada kekuatan jiwa, maka itu hanya akan melahirkan kehampaan.
Kehampaan itu musuh terbesar masyarakat urban. Makanya, saat sepi masyarakat urban cenderung ingin mencari kebahagiaan di kafe, atau di tempat-tempat dimana mereka bisa melepaskan penatnya, atau bisa healing dari masalah yang membelitnya. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya healing terbaik itu harusnya di rumah kita sendiri. Itulah kenapa ada kalimat ‘rumahku surgaku’, yang berarti bahwa ‘rumahku healing-ku’, bukan tempat lainnya.
Kembali kita kepada perjuangan. Saat menulis ini di depanku ada wajah para pejuang, para mantan petinggi di Proklamasi 51. Mereka, mulai dari Buya Hamka, adalah para pejuang dengan jiwa yang luar biasa. Beberapa waktu lalu, saya ikut pada persiapan sebuah aksi damai besar. Di situ saya lihat bagaimana semangat kebersamaan seorang tokoh insiator untuk mengajak sebanyak mungkin orang agar bersolidaritas terhadap masalah kemanusiaan. Di usia yang tidak lagi muda, saya lihat tokoh tersebut masih mau memikirkan persatuan dalam bersolidaritas secara global. Waktu singgah di salah satu kota di luar negeri, namanya saya dengar disebut oleh beberapa orang di belahan negeri lainnya.
Soal perjuangan ini saya jadi ingat satu kalimat lagi tadi pagi, yakni bermakna. Katanya, kita akan bahagia jika kita melakukan hal-hal yang bermakna, misalnya membantu orang lain. Jika merujuk kitab suci, kita diajarkan agar membantu orang saat kita sedang luas atau sedang tidak luas. Paling minimal, adalah membantu akses, informasi, atau pemikiran. Jangan kosong-kosong dalam membantu sesama.
Sampai di sini kita jadi dapat dua hal penting, yakni pentingnya kekuatan jiwa dan pentingnya aktivitas bermakna. Untuk bertahan hidup, jiwa kita harus kuat. Untuk dapat bahagia, kita harus beraktivitas yang bermakna sebab makna itulah yang membuat kita berbahagia.
*) Antropolog, Presiden Perhimpunan Rumah Produktif Indonesia.