src="https://news.google.com/swg/js/v1/swg-basic.js">
HEADLINEKALTIM.CO – Tanggal 2 Mei 2025 kembali menjadi pengingat penting bagi seluruh rakyat Indonesia akan nilai luhur pendidikan. Hari ini, bangsa memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), yang bertepatan dengan hari lahir Ki Hajar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan nasional.
Lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889, nama aslinya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Meski berasal dari keluarga bangsawan Pakualaman, Ki Hajar memilih jalan hidup yang jauh dari kemewahan. Ia merelakan hak-hak istimewanya demi membela kaum pribumi yang kala itu terbelenggu oleh sistem pendidikan kolonial.
Sebelum menekuni dunia pendidikan, Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai jurnalis yang vokal. Ia aktif menulis di surat kabar De Express dan Oetoesan Hindia, mengangkat isu ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang dialami rakyat Indonesia di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Tulisan-tulisannya menyuarakan perlawanan yang cerdas dan santun—suatu pendekatan yang khas dalam memperjuangkan hak-hak rakyat.
Salah satu tulisannya yang terkenal, “Jika Aku Seorang Belanda”, membuatnya diasingkan ke Belanda pada 1913. Namun, dari pengasingan itu, semangat dan visinya akan pendidikan rakyat tak pernah padam.
Pada tahun 1922, sekembalinya ke tanah air, Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Sekolah ini menjadi simbol perlawanan terhadap kebijakan diskriminatif Belanda seperti Wilde Scholen Ordonnantie, yang membatasi rakyat pribumi untuk mengakses pendidikan.
Taman Siswa memperjuangkan pendidikan yang membumi, dekat dengan nilai-nilai budaya lokal, dan membangun karakter nasionalisme. Ia memperkenalkan konsep pendidikan yang menempatkan murid sebagai subjek aktif, bukan sekadar objek.
Falsafah pendidikannya yang terkenal hingga kini adalah:
“Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”
(Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan.)
Ki Hajar Dewantara tidak hanya melawan penjajahan lewat pena dan pemikiran, tapi juga lewat pendidikan sebagai alat pembebasan. Ia percaya bahwa rakyat Indonesia tidak akan merdeka sepenuhnya jika masih tertinggal dalam hal ilmu pengetahuan dan karakter.
Perjuangan pendidikannya tak berhenti di masa kolonial. Setelah Indonesia merdeka, ia diangkat menjadi Menteri Pengajaran (kini Menteri Pendidikan) dalam Kabinet pertama Republik Indonesia. Ia menjadi arsitek awal sistem pendidikan nasional yang berbasis pada nilai-nilai kemerdekaan dan kepribadian bangsa.
Sebagai penghormatan atas dedikasinya, pada tahun 1959, Universitas Gadjah Mada (UGM) menganugerahi Ki Hajar Dewantara gelar Doktor Honoris Causa. Di tahun yang sama, ia dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah.
Ki Hajar Dewantara wafat pada 26 April 1959, dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata, Yogyakarta. Meski raganya telah tiada, pemikiran dan perjuangannya tetap abadi dalam sistem pendidikan Indonesia.
Artikel Asli baca di rri.co.id
Berita Terkini di Ujung Jari Anda! Ikuti Saluran WhatsApp Headline Kaltim untuk selalu up-to-date dengan berita terbaru dan Temukan berita populer lainnya di Google News Headline Kaltim