HEADLINEKALTIM.CO, JAKARTA – Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Ade Reza Hariyadi menilai wajar jika pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran) dibanjiri kritik dari para pegiat demokrasi. Menurut Ade, para pegiat demokrasi gerah dengan “permainan kotor” di Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan karpet merah bagi Gibran untuk maju di Pilpres 2024.
“Ada banyak kritik dari para penggiat demokrasi dan kalangan intelektual terhadap kecenderungan Presiden Jokowi yang terkesan mendukung Prabowo yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka yang juga putra presiden,” kata Ade, Minggu (5/11).
Oktober lalu, MK mengeluarkan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang isinya merevisi aturan mengenai syarat usia bagi capres dan cawapres dalam UU Pemilu. Tak lagi harus berusia 40 tahun, MK membolehkan kepala daerah yang dipilih lewat pemilu untuk mencalonkan diri.
Saat putusan itu diketok oleh Ketua MK Anwar Usman, Gibran genap berusia 36 tahun. Anwar saat ini berstatus sebagai besan Jokowi atau paman Gibran. Kebanyakan pakar menilai Jokowi ikut “cawe-cawe” dalam putusan yang meloloskan Gibran itu.
“Dalam konteks itu, pemilih rasional akan cenderung kritis melihat fenomena (skandal MK) tersebut. Namun, tidak otomatis mereka akan menjatuhkan pilihan politiknya terhadap Ganjar Pranowo-Mahfud MD,” kata Ade.
Saat ini, Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) sedang dalam proses menyidangkan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Anwar dan hakim MK lainnya dalam putusan nomor 90. Hasil akhir dari sidang itu, kata Ade, berpeluang membuat para pegiat demokrasi yang sebelumnya turut memenangkan Jokowi selama dua periode untuk ramai-ramai bergeser ke Ganjar-Mahfud.
“Nalar kritis pemilih rasional ini akan menjadi peluang elektoral bagi Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Selain itu, koalisi pendukung Ganjar-Mahfud MD harus mampu membangun isu dan sikap politik yang kontras dengan sejumlah kebijakan pemerintahan yang juga menjadi sasaran kritik pemilih rasional yang menggunakan nalar kritis dan perspektif demokrasi,” kata Ade.
Ganjar-Mahfud kerap diibaratkan sebagai antitesa pasangan Prabowo-Gibran yang disokong Jokowi di balik layar. Pasalnya, Mahfud ditunjuk sebagai pasangan Ganjar meskipun elektabilitasnya masih kecil di beragam survei. Ganjar juga seharusnya mendapat suntikan elektabilitas jika Jokowi mendukungnya di Pilpres 2024.
Berdasarkan Hasil Survei Charta Politika Indonesia periode 26 – 31 Oktober 2023, sebanyak 48,9 persen responden menilai Gibran Rakabuming Raka tidak pantas menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) mendampingin Prabowo Subianto. Jumlah tersebut menilai Gibran masih terlalu muda dan belum memiliki pengalaman menjadi pejabat publik 55,4 persen.
Selain itu, mayoritas responden 59,3 persen menyatakan tidak setuju dengan praktik politik dinasti dan menyebut pencalonan Gibran yang merupakan anak Presiden Joko Widodo sebagai bentuk dinasti politik sebanyak 49,3 persen.
Ade menilai isu politik dinasti saat ini masih jadi diskursus di kalangan elit. Kebanyakan masyarakat tak punya perhatian khusus terkait itu lantaran tak langsung bersentuhan dengan mereka. “Akibat adanya masalah konkret dalam masyarakat sendiri,” ucap Ade.
Namun demikian, Ade berpendapat kalangan pro-demokrasi potensial bergerak dalam upaya memupus mimpi Jokowi membangun dinasti politik. Syaratnya, harus terbangun kesadaran publik mengenai bahaya dinasti politik Jokowi terhadap nilai-nilai demokrasi.
Jika dukungan dari kelas menengah dan lembaga swadaya masyarakat kuat, Ade meyakini kelompok intelektual organik bakal mengorganisasi massa untuk memprotes skandal MK, dugaan keterlibatan Jokowi, dan juga pencalonan Gibran.
“Selain itu, juga dipengaruhi oleh peranan media massa dalam membentuk kesadaran kritis publik. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, maka opini yang terbangun akan tenggelam seiring dengan waktu dan isu lain yang lebih besar,” ucap Ade.