src="https://news.google.com/swg/js/v1/swg-basic.js">
HEADLINEKALTIM.CO, SAMARINDA–Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang diumumkan pemerintah mulai diberlakukan pada Sabtu 3 September 2022.
Kebijakan ini mendapat sorotan dari pengamat kebijakan publik yang juga akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah.
Dalam keterangan yang diterima media ini, pria yang akrab disapa Castro ini menyebut tiga alasan mengapa kebijakan menaikkan harga BBM itu tidak tepas dan harus ditolak.
Pertama, pemerintah selalu berdalih bahwa kenaikan harga BBM dikarenaka selama ini 70 persen subsidi BBM dinikmati oleh orang mampu.
Darimana data mampu tidak mampu yang dipakai pemerintah ini? Tidak ada data yang jelas bagaimana pemerintah mengkualifikasikan “orang mampu” ini.
Tapi jika ditelusuri, data orang mampu ini menggunakan kemungkinan besar menggunakan standar garis kemiskinan yang ditetapkan pemerintah melalui BPS, dimana per Maret 2021 ditetapkan pengeluarannya sebesar Rp. 472.525.
Jadi penduduk yang pengeluaran perkapitanya dalam sebulan di bawah angka itu, dikualifikasikan sebagai penduduk miskin. Sementara yang di atas angka itu dikualifikasikan tidak miskin atau “mampu”.
(sumber:https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/07/15/1843/persentase-penduduk-miskin-maret-2021-turun-menjadi-10-14-persen.html).
Pertanyaannya, bagaimana mungkin data orang miskin ini dikonversi menjadi data penikmat BBM bersubsidi? Ini seperti hendak memotong daging dengan pisau dapur. Coba bayangkan, apakah masuk akal penduduk dengan pendapat perkapita sebulan sebesar Rp.500.000 dikualifikasikan pendudukan tidak miskin atau mampu? Jelas klaim Pemerintah ini sungguh sangat menyesatkan.
Kedua, perbandingan dengan negara lain. Jika melihat Malaysia sebagai sampel, maka pilhan menaikkan harga BBM adalah keliru besar. Sebagai perbandingan, harga bensin terbaru di Malaysia per Agustus 2022 dengan oktan 95 atau RON 95 dijual seharga RM 2,05 atau setara dengan Rp 6.780 per liter (kurs Rp 3.300).
Bandingkan dengan harga pertalite (RON 90) dan pertamax (RON 92) di Indonesia. Harga bensin RON 95 di Malaysia (yang notabene RON atau oktan-nya lebih bagus dari pertalite dan pertamax), jauh lebih murah (sumber: https://www.motorplus-online.com/amp/253458189/harga-pertalite-tetap-rp-7650-per-liter-ternyata-bensin-ron-95-di-malaysia-lebih-murah?page=2).
Ketiga, kenaikan harga BBM, berkaitan erat dengan pembiayaan IKN. Untuk menyelamatkan lapak bisnis oligarki di proyek megah IKN ini, segala cara dihalalkan pemerintah. Dan sudah pasti rakyat yang selalu ditumbalkan.
Mulai dari menggenjot pajak, hingga pencabutan subsidi yang berimbas kepada kenaikan harga BBM ini. Jadi jelas jika kenaikan harga BBM ini adalah politik tumbal untuk pembiayaan IKN. Pemerintah mencari jalan pintas untuk pembiayaan IKN dengan cara mengorbankan rakyat.
“Berdasarkan 3 alasan tersebut, maka tidak ada pilihan bagi kita untuk tidak begerak melawan keputusan pemerintah yang tidak pro-rakyat ini. Semua elemen harus tumpah ruah ke jalan-jalan, ekspresikan sikap penolakan kita,” pungkasnya.
PERTALITE JADI RP 10.000
Dilansir dari kompas.com, Presiden Joko Widodo akhirnya mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai dari Pertalite, Solar, dan Pertamax. Harga terbaru BBM bersubsidi dan non-subsidi itu mulai berlaku pada Sabtu (3/9/2022) pukul 14.30.
“Saat ini pemerintah membuat keputusan dalam situasi yang sulit. Ini adalah pilihan terakhir pemerintah yaitu mengalihkan subsidi BBM sehingga harga beberapa jenis BBM akan mengalami penyesuaian,” ujar Presiden Jokowi dalam jumpa pers di Istana Merdeka, Sabtu (3/9/2022).
Menteri ESDM Arifin Tasrif selanjutnya menjabarkan penyesuaian harga BBM terbaru yakni sebagai berikut:
1. Harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter
2. Harga Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter
3. Harga Pertamax dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter
Wacana kenaikan harga BBM bersubsidi mencuat dalam beberapa waktu terakhir seiring membengkaknya nilai subsidi energi yang mencapai Rp 502 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, anggaran subsidi dan kompensasi energi akan kembali membengkak sebesar Rp 198 triliun, jika tidak ada kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar.
Ia mengatakan, saat ini anggaran subsidi dan kompensasi energi untuk 2022 dipatok sebesar Rp 502,4 triliun.
Angka itu sudah membengkak Rp 349,9 triliun dari anggaran semula sebesar Rp 152,1 triliun guna menahan kenaikan harga energi di masyarakat.
Namun, dengan kondisi berlanjutnya kenaikan harga minyak mentah dan pelemahan kurs rupiah, diperkirakan anggaran tersebut tidak akan cukup hingga akhir tahun.
Terlebih, konsumsi Pertalite dan Solar diperkirakan akan melampaui kuota yang ditetapkan.
“Kami perkirakan subsidi itu harus tambah lagi, bahkan bisa mencapai Rp 198 triliun, menjadi di atas Rp 502,4 triliun. Jadi nambah, kalau kita tidak menaikkan (harga) BBM, kalau tidak dilakukan apa-apa, tidak ada pembatasan,” ujar Sri Mulyani saat ditemui di Gedung DPR RI, Selasa (23/8/2022). (*/)