HEADLINEKALTIM.CO, SANGATTA – Memasuki era disrupsi, banyak media mainstream bertumbangan akibat gagal membaca pasar dan memanfaatkan peluang. Media berbasis internet kini bermunculan. Disrupsi jadi ciri utama era ini.
Namun, masih banyak media di era digitalisasi yang muncul sekadar peluncur berita yang kemudian melupakan kaidah. Lantas abai kualitas, demi kecepatan.
Hal tersebut disinggung wartawan senior, Wahyu Muryadi saat menjadi narasumber dalam acara Webinar Kalsul Series #6 yang berlangsung pada Rabu 7Â Oktober 2020 dengan tema “Media Digital, Kini & Tantangan Masa Depan”.
Menurut dia, kunci media dapat terus bersaing di tengah era digitalisasi yang luar biasa yakni mendapatkan kepercayaan pembaca, bukan soal kecepatan menghadirkan berita semata-mata. Di era disrupsi digital ini, tentu insan pers harus tumbuh untuk dapat berjalan bersama masyarakat di sekitarnya bertugas.
“Saya masih ingat bagaimana di awal-awal bertugas masih menggunakan mesin ketik dan kemudian menuju komputer. Pada awal 2000-an awal orang mulai terkoneksi dengan media sosial. Namun lagi-lagi masyarakat tetap mengedepankan kepercayaan alias trust. Bahwa bagaimanapun sumber berita primer masih sangat penting, dibandingkan sumber dari perihal seperti media sosial,” jelasnya.
Ada perubahan mendasar jika berkaca pada era tahun 1970 hingga 2000-an. Bagaimana dari perangkat berupa kertas untuk menuangkan tulisan, kini tertuang dalam layar gawai. Begitu cepatnya sebuah tulisan sampai ke hadapan pembaca.
“Produk media cetak memiliki kelemahan di mana biaya produksi yang begitu besar. Jika mengacu pada majalah Tempo, itu berbeda, harga per ekslemplarnya masih menutup ongkos produksi. Mengapa bisa begitu? karena memenangkan kepercayaan dari pembacanya,” ungkap mantan Pimred Majalah Tempo ini.
Persoalan media untuk bertahan di tengah arus digitalisasi juga, kata Wahyu, tidak ‘goyah’ oleh advertorial atau iklan. Maksudnya, media memang tidak bisa menampik pendapatan dari iklan. Namun, media harus  mampu memosisikan diri, tidak mengubah ruh kerja jurnalistik gara-gara iklan.
“Ada kamar redaksional dan ada kamar komersial, dimana tidak boleh saling melangkahi satu dengan yang lain. Ini bagaimana menjadi keberanian anda sebagai media. Iklan itu halal dengan tidak mensyaratkan apapun, itu adalah rezeki. Tetapi redaksi harus independen, di mana tidak boleh diatur-atur oleh pengiklan,” paparnya.
Penulis: RJ Warsa