HEADLINEKALTIM.CO, SAMARINDA – Sosok Nanda Ginanjar sangat inspiratif. Dia adalah pionir di Kota Samarinda, Kaltim, di bidang budi daya tanaman hidroponik.
Sejak lima tahun lalu, ia menjadi praktisi hidroponik yang fokus pada pembinaan ekonomi mandiri. Salah satu binaannya adalah Pondok Pesantren KH Harun Nafsi yang berada di Jalan HAM Rifaddin, Kelurahan Harapan Baru, Loa Janan Ilir, Kota Samarinda.
Keseriusan Nanda dalam mengenalkan pertanian hidroponik kepada masyarakat Kota Samarinda sudah terbukti. Pelatihan yang mendatangkan langsung praktisi hidroponik profesional dari UGM dilakukan hingga terbentuklah komunitas hidroponik di Samarinda.
“Alhamdulillah dua kali pelatihan, antusias masyarakat tinggi sampai terbentuk komunitas hidroponik di sini (Samarinda, red),” ucapnya pada Headlinekaltim.co, Jumat 11 September 2020.
Berawal dari program kemandirian ekonomi pondok pesantren yang diadakan Bank Indonesia Perwakilan Kaltim, ia diajak untuk bekerjasama menerapkan program kewirausahaan hidroponik di pondok pesantren KH Harun Nafsi.
Tujuan utama dari program ini, kata Nanda, untuk melahirkan pengusaha muda yang berprestasi, termasuk di bidang usaha hidroponik.
Jadi, Ponpes juga menanamkan jiwa kewirausahaan pada santri. Lulusan tidak hanya mampu menghafal Al-Qur’an, tetapi diharapkan bisa berwirausaha.
“Kebun hidroponik ini adalah bantuan sosial dari BI dan saya diamanahkan oleh BI untuk membina pondok pesantren untuk program kewirausahaan hidroponik,” katanya.
Lahan kebun hidroponik yang dimiliki pondok pesantren ini berukuran 20 x 15 meter. Penanaman dilakukan di lubang-lubang pipa berukuran “jumbo” yang sengaja dilubangi, jumlahnya sekitar 5.400 lubang.
Sedangkan jenis sayur yang ditanam antara lain selada, sawi pokcow, sawi caisim, selada merah, kangkung, sawi samhong, kale dan lain-lain. Untuk bibit sayur, sebagian besar didatangkan dari Pulau Jawa. Demikian halnya pupuk.
Harga jual dari sayur mayur hidroponik sendiri dipatok mulai harga Rp 40 ribu per kilonya, namun khusus jenis sayur kale, harga yang dipatok Rp 250 ribu per kilonya.
“Biasanya kami jual per pack isi 250 gram, harganya Rp 10 ribu per pack. Tapi yang paling mahal sayur kale. Sayur jenis ini biasanya dikonsumsi daunnya untuk dibuat jus dan kaya manfaat. Rencana kami ke depannya, akan membuat dan meracik pupuk sendiri sehingga tidak perlu lagi beli dari Pulau Jawa,” ungkapnya.
Untuk memasarkan hasil panen sayur, Nanda bekerjasama dengan beberapa pengusaha restoran, swalayan dan rumah tangga. Namun, sejak pandemi, pemasaran hidroponik sempat terpengaruh. Bahkan, omzet penjualan sayur turun sampai 20 persen.
Sejak diberlakukannya new normal, omzetnya membaik. “”Pandemi kemarin kami sempat terkendala benih, susah didapat karena didatangkan dari luar Kaltim. Tapi itu tidak lama, sekarang sudah normal lagi. Alhamdulillah kalau omzet bisa sampai Rp 10 juta, kalau misalnya hasil maksimal dan tidak ada kerusakan,” paparnya.
Selama menjalankan programnya, mulanya Nanda mengalami beberapa kendala. Dia harus mengajarkan perlahan metode tanam hingga panen sampai pemasaran dengan menyesuaikan jadwal yang miliki santri.
“Kami kan menyesuaikan jadwal santri. Harus perlahan karena santri yang kami dampingi belum memiliki skil dan pengalaman wirausaha. Perlu kesabaran mulai dari proses penanaman hingga pemasaran. Alhamdulillah sekarang sudah terbiasa dan SOP sudah bagus, hasilnya lumayan,” kata dia lagi.
Menurut Nanda, saat ini pondok pesantren memiliki learning center sendiri untuk pelatihan hidroponik, dilengkapi dengan fasilitas kelas yang dapat menampung hingga 50 orang peserta, proyektor dan full AC.
“Bisa belajar langsung disini. Setelah belajar bisa langsung praktek, mulai dari cara menanam, pemberian pupuk semai sampai packing. Intinya hidroponik ini mudah dilakukan kapan saja, di mana saja dan siapa saja,” pungkasnya.
Penulis: Ningsih