22.1 C
Samarinda
Sunday, September 15, 2024

Segera Beredar Jilid ke-4 La Galigo, Prof Nurhayati: Butuh 1,5 Tahun

HEADLINEKALTIM.CO, SAMARINDA – Segala milikku, milikmu jua. Apa yang kau inginkan akan kupenuhi. Berbaliklah engkau memandangku. Dengan penuh tatapan cinta.” Syair romantis ini diucapkan Sawerigading, tokoh dalam epos La Galigo, kepada Sang Putri yang telah dipersuntingnya kala hendak memadu kasih di malam pertama.

Satu tahun setengah. Ini bukan waktu yang singkat untuk menyelesaikan terjemahan satu edisi naskah La Galigo nomor NBG 88 yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda.

Setelah tiga jilid yang tiap jilidnya ratusan halaman, kini publik dunia bisa memamah lagi terjemahan La Galigo jilid ke-4 yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia. Selain edisi cetak, pembaca juga bakal bisa menikmati bentuk digital di Google Book.

Segera Beredar Jilid ke-4 La Galigo, Prof Nurhayati: Butuh 1,5 Tahun
Sumber: (istimewa/akun Facebook Nurhayati Rahman)

“1,5 tahun saya harus menyelesaikan edisi keempat ini. Selama di Indonesia ya kita jadi relawan saja. Tidak dibayar. Alhamdulillah, Yayasan Pustaka Obor Indonesia tidak meminta biaya, gratis, biaya penerbitan karena mereka merasa bertanggung jawab atas kelangsungan hidup La Galigo,” kata penerjemah La Galigo dari Universitas Hasanuddin Prof Dr Nurhayati Rahman saat dihubungi Jumat 26 Juli 2024.

Untuk mengerjakan jilid ke-4, mengharuskan Nurhayati kembali ke Belanda. Selama sebulan dia membuka kembali naskah kuno tersebut. Ini karena ada kesepakatan kerja sama sebelumnya dengan Universitas Leiden dan alasan melimpahnya bahan pustaka di perpustakaan kampus tersebut. “Termasuk kita juga berbagi ilmu dengan Indonesian Studies yang berminat belajar La Galigo,” kata filolog Unhas kelahiran Bone, Sulsel ini.

Sebenarnya, tanpa ke Belanda, naskah kuno La Galigo sudah  ‘diawetkan’ ke dalam bentuk manuskrip digital. Hak ciptanya  sudah dibeli oleh yayasan milik mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Namun, pengerjaan setiap jilid La Galigo ini tidak bisa sepenuhnya mengandalkan manuskrip digital.

Dalam mengerjakan jilid ke-4 naskah La Galigo, Nurhayati mengaku kini memiliki tim yang membantunya. Ada dua ‘kader’ yang militan didampingi sang Filolog. “Satu fokus ke bahasa Bugis untuk mengalihkan ke Bahasa Indonesia, satu lagi fokus pada terjemahannya.”

Namun, bukan berarti tugas Nurhayati jadi mudah. Bayangkan, naskah ini hingga 800-an halaman. Dia harus kembali membaca hasil kerja tim, memeriksa huruf per huruf, kata per kata, dan kualitas terjemahannya. Lalu merujuk naskah aslinya.

Kenapa demikian? Sebab, naskah La Galigo adalah sebuah epos sastra yang harus diterjemahkan dalam kaidah-kaidah sastra. “Rasanya lebih mudah jika saya kerjakan sendiri. Hanya, kan harus ada regenerasi. Tidak mungkin saya terus.”

Satu hal yang paling penting, kata Nurhayati, mengerjakan La Galigo tidak boleh asal-asalan. Perlu ketelitian dan kehati-hatian karena menjadi acuan di seluruh dunia.

Untuk penerjemahan jilid-jilid La Galigo berikutnya, Dirjen Kebudayaan sudah berjanji memfasilitasi. Jika edisi ke-4 ini selesai dalam setahun setengah, maka kira-kira butuh delapan tahunan lagi untuk menerjemahkan naskah La Galigo hingga jilid 12.

“Itu sebabnya butuh kader dan regenerasi karena saya belum tentu masih hidup 8 tahun lagi,” kata Nurhayati.

PERKENALAN DENGAN LA GALIGO

Bagaimana perkenalan Nurhayati dengan naskah berbahasa Bugis kuno hingga berujung pada kerja akademik yang menuntut ketekunan dan keteguhan hati? Pertama kali berkenalan dengan huruf lontaraq saat mendapatkan sebuah naskah dari seorang antropolog.

Naskah itu tak bisa dibacanya sama sekali. “Beruntung, nenek saya seorang penembang La Galigo. Saya dibantu menerjemahkan,” bebernya. Nurhayati lalu mengasah kemampuan membaca naskah lontaraq secara otodidak.

Dari pendidikan sarjana hingga magister dia pun mengambil spesialisasi kajian La Galigo. Sejatinya, Nurhayati ingin mengambil program doktor dengan spesialisasi yang sama di Belanda. Seperti diketahui, Naskah La Galigo dengan nomor NBG 188  merupakan salah satu naskah Bugis yang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Dia sempat menyelesaikan satu jilid. Namun, harus pulang akibat meruncingnya hubungan diplomatik antara Indonesia-Belanda di era Soeharto. Saat mengambil program doktoral di UI, perjodohannya dengan naskah La Galigo kembali ‘nyambung’ saat terpilih sebagai tenaga muda dalam proyek kerja sama kebudayaan Indonesia-Belanda untuk menangani penyuntingan naskah nusantara di Belanda.

Filolog kelahiran Bone, Sulsel ini mengaku nyaris frustrasi ketika berhadapan dengan naskah berhuruf tua dan berbahasa kuno tersebut di Leiden. “Dua bulan saya sudah minta pulang. Saya merasa tidak sanggup. Ditambah lagi, berhadapan dengan cuaca musim dingin dan terpisah dari anak-anak,” katanya. Apa sebabnya? Soal footnote saja, ada 1.700 footnote yang harus dicocokkan dengan naskah asli La Galigo serta karya 12 jilid hasil kerja awal penerjemah bernama Muhammad Salim. Salim, almarhum, dosen luar biasa Jurusan Sastra Daerah di Fakultas Ilmu Budaya Unhas merampungkan 12 jilid itu dari 1985-1990.

Bukan pekerjaan ringan buat Nurhayati. Mengingat kala itu, belum ada perangkat digital yang modern seperti sekarang. Karya Salim, bahkan, tidak diizinkan beredar oleh Belanda karena penerjemahannya leksikal, bukan sastrawi.

Pemindahan dari aksara lontaraq ke latin juga tidak menaati kaidah ejaan. “Menurut Belanda, karya sastra yang tidak diterjemahkan dengan cita rasa sastrawi berarti ‘menzalimi’ karya itu (La Galigo),” katanya.

Proyek Salim akhirnya disodorkan oleh Belanda kepada almarhum Prof. Dr Fahruddin Ambo Enre.  Pada kurun 1990-1992, Guru besar IKIP Ujung Pandang itu hanya mampu merampungkan 1,5 jilid. Itupun terjemahannya hanya mengikuti ejaan Bahasa Indonesia baku. “Padahal, yang diinginkan Belanda adalah bersifat sastra,” katanya.

Di tangan Nurhayati, tugas untuk menghadirkan cita rasa sastrawi dari naskah La Galigo dimulai. Soal berkutat dengan naskah asli dan mencocokkan dengan naskah 12 jilid karya Salim itu, Nurhayati punya amsal tersendiri. “Ibarat membawa sebuah baju bekas ke tukang jahit. Minta dikecilkan atau dibesarkan, tapi si tukang jahitnya minta dibawakan kain baru saja,” katanya.

Membuka naskah aslinya saja harus didampingi oleh petugas khusus yang berdiri di belakangnya. Harus pakai sarung tangan dan masker. Pernah mahasiswa Sulsel berdemo dan meminta dirinya berjuang mengembalikan naskah asli La Galigo.

Nurhayati hanya bilang, “Kalian mampu memperlakukan dan menjaga naskah itu seperti mereka (Belanda) merawatnya? Membukanya saja harus pakai masker, pake tisu, temperatur saja diatur!”

LA GALIGO SEBAGAI KARYA SASTRA

Kenapa naskah La Galigo dianggap sebagai karya sastra? Sebab, terdiri dari lima suku kata pada setiap penggal frase. Disebut penggal frase, bukan bait, karena tidak tersusun ke bawah tetapi ditulis sambung menyambung. “Lima suku kata ini ditulis untuk dinyanyikan di depan publik. Jika lebih atau kurang dari lima suku kata, bunyinya fals,” bebernya.

Selain itu, seluruh unsur-unsur karya sastra modern terpenuhi dalam La Galigo. Ada flashback dan pembayangan. Flashback atau semacam alur mundur dalam film yang menjelaskan episode sebelumnya. Sementara, pembayangan berfungsi untuk menjelaskan adegan atau episode yang akan datang.

Dengan jumlah 300.000 penggal frase, La Galigo telah mewariskan kepada Indonesia, khususnya masyarakat Bugis, sebuah tradisi literasi yang kuat. Dia mewariskan huruf, tradisi menulis dan bersastra.

Banyak pendapat ahli soal kapan masa La Galigo ditulis. Ada yang menyebut abad ke-7, abad ke-11, hingga ke-14. Zaman di mana masyarakat belum punya fasilitas alat tulis menulis canggih selain daun lontar. Naskah La Galigo dalam pandangan para ahli, menyajikan data yang sangat gamblang. Kisahnya yang panjang, dari rentang zaman pra-Islam hingga Islam masuk, ditulis terperinci. Itu sebabnya, La Galigo dianggap tidak ditulis serentak dalam satu masa. “Karya ini dianggap saksi zaman dan ditulis sepanjang zaman,” tukas Nurhayati. (huldi amal)

Disclaimer: tulisan diolah dari wawancara dan arsip berita:  https://headlinekaltim.co/diskusi-buku-la-galigo-menurut-naskah-nbg-188-nurhayati-terbiasa-pakai-masker-gara-gara-naskah-kuno-ini/

 

Berita Terkini di Ujung Jari Anda! Ikuti Saluran WhatsApp Headline Kaltim untuk selalu up-to-date dengan berita terbaru dan Temukan berita populer lainnya di Google News Headline Kaltim

- Advertisement -

LIHAT JUGA

- Advertisement -

TERBARU

POPULER