HEADLINEKALTIM.CO, SAMARINDA –Unggahan akun Instagram BEMKM Unmul soal “Patung Istana Merdeka Datang Ke Samarinda”, yang merespon kedatangan Wakil Presiden KH Makruf Amin ke Samarinda, Selasa 2 November 2021 lalu, menjadi polemik di ruang publik.
Kalimat metaforik bernada kritik dan sedikit sarkastik ini menimbulkan pro dan kontra yang disayangkan tidak berkaitan sama sekali dengan susbtansi kritik BEM KM terhadap Wakil Presiden.
Hal inilah yang disoroti oleh koalisi dosen Unmul, Sabtu 6 November 2021. Menurut Sri Murlianti, salah satu dosen Unmul yang tergabung dalam koalisi, publik justru dominan terlibat dalam pro dan kontra terhadap pilihan diksi “patung istana merdeka” yang digunakan dalam unggahan BEM KM tersebut.
Padahal membincangkan “isi”, tentu jauh lebih baik daripada meributkan “kulit”. “Metafora adalah gaya bahasa tingkat tinggi yang mencerminkan tingkat intelektualitas seseorang. Tak banyak pihak yang mampu sampai pada tingkat kecerdasan demikian, bahkan pejabat negara atau ilmuwan bergelar tinggi sekalipun,” tukasnya dalam keterangan yang diterima media ini.
Menurutnya, membungkam dan berupaya mematikan gaya bahasa metafor berarti berupaya mematikan kecerdasan dan intelektualitas pemilik metafor.
Adapun sarkasme sendiri serupa dengan kata-kata pedas, cemoohan, atau ejekan yang biasanya dibungkus dengan perumpamaan dan sedikit humor. Dan dalam tradisi kritik, selain satire dan sinisme, sarkasme juga kerap digunakan untuk mengekspresikan rasa kesal dan amarah.
“Dalam kapasitas pejabat publik, sarkasme itu adalah hal yang lumrah. Terlebih terhadap pejabat publik yang cenderung menutup mata dan telinga atas berbagai persoalan rakyat. Yang tidak lumrah adalah, justru pejabat publik yang tipis telinga, anti kritik, bereaksi berlebihan, dan punya kebiasaan menyerang balik para pengkritiknya,” sambungnya.
Dijelaskan Sri, terkait dengan diksi ‘patung istana merdeka’, mestinya publik memahami konteks di baliknya. Itu sudah dijawab oleh BEM KM Unmul sendiri dalam beberapa kesempatan.
“Intinya, Wakil Presiden dianggap terkesan lebih berdiam diri dan menghindar dari riuhnya protes publik terhadap kebijakan Pemerintah yang selama ini jauh dari harapan publik. Padahalnya layaknya Presiden, Wakil Presiden juga dipilih langsung oleh rakyat, sehingga memiliki tanggung jawab penuh untuk bertindak memperjuangkan kepentingan rakyat,” bebernya.
Jadi mutlak, kalimat metaforik bernada sarkastik ‘patung istana merdeka’ ini, lanjut dia, adalah kritik kepada Wakil Presiden yang dianggap gagal menjalankan fungsinya. “Ini bukan (serangan) terhadap pribadinya,” tukasnya.
Anehnya lagi, pihak kampus Universitas Mulawarman, tempat di mana BEM KM bernaung, justru memberikan respon di luar dugaan.
Dalam akun instagram resminya, Unmul bahkan menginstruksikan BEM KM untuk menghapus unggahan, dan menginstruksikan BEM KM untuk meminta maaf kepada Wakil Presiden, masyarakat dan Unmul sendiri.
“Ini jelas merupakan bentuk pembatasan kebebasan berpendapat bagi civitas akademik,” ujarnya lagi.
UNESCO mendefinisikan kebebasan akademik sebagai, “hak atas kebebasan mengajar, kebebasan berdiskusi, kebebasan melakukan penelitian termasuk menyebarluaskan hasil-hasilnya, kebebasan menyatakan pendapat secara terbuka, kebebasan dari sensor institusional, dan kebebasan untuk berpartisipasi dalam keputusan-keputusan politik, baik di dalam maupun di luar institusi pendidikan.
“Sikap Unmul secara kelembagaan tersebut, sangat jauh dari prinsip-prinsip kebebasan akademik yang dilindungi oleh konstitusi, khususnya Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, ataupun dari apa yang telah ditegaskan secara eksplisit dalam Universal Declaration of Human Rights, ICCPR, dan Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM,” tambahnya.
Dikatakannya, dalam aturan spesifik sendiri melalui Undang-Undang 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, pihak birokrasi kampus semestinya bertanggung jawab memastikan kebebasan akademik tersebut diperoleh dengan baik oleh setiap civitas akademik, bukan sebaliknya.
Terkait sikap kampus tersebut, sejumlah dosen Unmul menyatakan sikap:
Pertama, kampus telah gagap dalam menghargai perbedaan pendapat, dengan seolah ingin menjadi penafsir tunggal terhadap satu peristiwa.
Kedua, pertanda kedangkalan pemahaman kampus tentang makna kebebasan akademik sebagai jantung perguruan tinggi. Tidak akan ada pendidikan, penelitian, dan pengabdian tanpa kebebasan akademik.
Ketiga, masih kuatnya kultur feodal di kampus yang membuat relasi antarcivitas menjadi timpang. Dan mahasiswa cenderung menjadi sub-ordinat dari birokrasi.
Keempat, kampus telah terjebak dengan relasi kuasa dengan memberi pembelaan terhadap kekuasaan, namun sebaliknya justru menghakimi mahasiswa. Padahal kampus seharusnya menjadi fungsi kontrol terhadap kekuasaan, bukan sebaliknya.
Kelima, metafora dan sarkasme adalah kritik sosial dengan tingkat intelektualitas dan kecerdasan tinggi terhadap kekuasaan. Oleh karena itu, lumrah dialamatkan kepada pejabat publik. Mematikannya setali tiga uang dengan mematikan intelektualitas dan kecerdasan mahasiswa yang sedang bertumbuh sesuai spirit zamannya.
“Sebagai bagian dari keluarga besar Unmul, maka kritik ini harus kami sampaikan sebagai wujud kecintaan kami terhadap Unmul. Kampus harus menjadi contoh yang baik bagaimana cara kita mengelola perbedaan pendapat dengan baik, sekaligus sebagai tempat yang dapat memberikan jaminan terhadap ruang kebebasan akademik, yang tidak hanya bagi civitas akademik, tetapi juga berjuang untuk memastikan kebebasan tersebut diperoleh oleh setiap kepala warga negara, tanpa terkecuali,” pungkasnya.
Koalisi dosen Unmul:
- Esti Handayani Hardi (FPIK)
- Sri Murlianti (FISIP)
- Suryaningsi (FKIP)
- Diah Rahayu (FISIP)
- Eka Yusriansyah (FIB)
- Alfian (FH)
- Aryo Subroto (FH)
- Orin Gusta Andini (FH)
- Purwadi (FEB)
- Haris Retno (FH)
- Safarni Husain (FH)
- Nasrullah (FIB)
- Nurlia (FISIP)
- Herdiansyah Hamzah (FH)
- Dahri D. (FIB)
- Rina Juwita (FISIP)