src="https://news.google.com/swg/js/v1/swg-basic.js">
HEADLINEKALTIM.CO, SAMARINDA – Pelaksanaan vaksinasi COVID-19 di Kalimantan Timur mulai dilaksanakan hari Kamis 14 Januari 2021. Muncul pula wacana pemberian sanksi bagi warga yang menolak disuntik vaksin.
Pemerintah Provinsi Kaltim yang hendak membuat kebijakan sanksi tersebut seperti dilakukan DKI Jakarta, terbilang sudah terlambat. Seharusnya jauh hari dibuat dalam Perda yang mengatur protokol kesehatan.
Dosen Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah menjelaskan pengenaan sanksi penolak vaksin tidak tepat dibuat dalam bentuk Peraturan Gubernur (Pergub) atau Peraturan Walikota/Bupati. Melainkan harusnya diatur dalam Perda yang memiliki legitimasi lebih kuat.
“Kalau Bapak Isran misalkan mewacanakan pemberian sanksi seperti Jakarta, saya setuju. Tapi dalam bentuk Perda,” kata Castro.
Selain itu, pembuatan Pergub untuk sanksi penolak vaksin tak bisa dijalankan karena kepala daerah sejak awal menjabat tak diberi mandat untuk memberi sanksi ke masyarakat dalam aturan manapun.
Sebelumnya, Gubernur Kaltim Isran Noor kepada wartawan beberapa waktu lalu menyampaikan pihaknya ingin ada sanksi bagi warga yang menolak vaksin seperti dilakukan Pemprov DKI Jakarta.
“Kalau di DKI, itu ada aturan denda Rp 5 juta. Tapi kita, kalau dari dia tidak mau, pokoknya ada sanksi lah,” tegasnya.
Castro juga menjelaskan aturan pelaksanaan vaksinasi COVID-19 mestinya sejak dini sudah disusun dalam bentuk Perda oleh Pemerintah Provinsi bersama DPRD Kaltim.
Dengan Perda, pemerintah memiliki legitimasi yang kuat untuk mendisiplinkan masyarakat dalam mencegah wabah penyakit menular. Seperti sudah dilakukan DKI Jakarta dan salah satu daerah provinsi di Sumatera.
“Kalau sanksi vaksinasi hanya diatur dengan Peraturan Gubernur atau Walikota Bupati, kurang legitimate. Dan ada hak asasi manusia yang dilanggar, ini yang saya khawatirkan,” katanya.
Castro juga mempertanyakan tak adanya mind set dari pemerintah eksekutif dan legislatif untuk menyusun regulasi dan produk hukum mengatur vaksinasi COVID-19.
“Kalau serius pemerintah, harusnya sudah ada yang mengusulkan Perda . Tapi juga tidak ada yang mengusulkan. Saya kurang tahu, apa kita kurang maksimal meributkan. Yang jelas wacana itu sudah ada dari kemarin-kemarin kalau protokol kesehatan sudah ada dalam Perda,” katanya.
Perda untuk pemberian sanksi penolak vaksin, bagi Castro, bisa saja dilakukan. Asalkan ada kemauan kuat Pemprov dan DPRD Kaltim.
“Ini tergantung political will. Kalau dibuat sekarang (Perda untuk sanksi penolak vaksin) memang agak repot dengan waktu yang mendadak. Tapi kalau misalnya pemerintah dan DPRD punya pikiran dari awal. itu sesuatu yang bisa prediksi. Memiliki waktu yang panjang. Masa satu tahun nggak bisa,” kata Castro.
Diakui Castro, sanksi pidana berupa penjara maupun denda bagi penolak vaksin, bisa dilakukan pemerintah dengan dasar hukum yang telah diatur dalam Undang-Undang Wabah Penyakit Menular tahun 1984 dan Undang-Undang Karantina Kesehatan.
Namun, aturan hukum tersebut, bagi Castro, tidak bisa langsung diterapkan dan dimaknai dengan menggunakan “kaca mata kuda”. Sebab, mereka menolak vaksin juga punya alasan masih diragukan keamanan dan efektif vaksin tersebut.
“Masyarakat menolak vaksin karena tidak ada jaminan dari rasa aman dibawa vaksin tersebut. Kan masih diperdebatkan uji klinis yang belum selesai. Persoalan ini membuat masyarakat menjadi ambigu dan enggan divaksinasi,” kata Castro.
Penulis: Amin
Editor: MH amal
Berita Terkini di Ujung Jari Anda! Ikuti Saluran WhatsApp Headline Kaltim untuk selalu up-to-date dengan berita terbaru dan Temukan berita populer lainnya di Google News Headline Kaltim