src="https://news.google.com/swg/js/v1/swg-basic.js">
HEADLINEKALTIM.CO, SAMARINDA – Puluhan orang yang mengatasnamakan masyarakat Transmigrasi tahun 1973-1974 menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Kaltim, Rabu 10 November 2021.
Mereka menuntut janji-janji pemerintah terkait ganti rugi lahan eks transmigrasi masing-masing seluas 1,5 hektare per KK atau 177 hektare untuk 118 KK atau ganti rugi sebesar Rp 500 juta per orang. Total uang ganti rugi yang dituntut sebesar Rp 59 miliar.
Beberapa saat setelah melakukan orasi, sebanyak 5 orang perwakilan warga didampingi kuasa hukum bertemu Kepala Biro Hukum Setdaprov Kaltim Rozani Erawadi di ruang rapat lantai 3, Kantor Gubernur Kaltim.
Suasana di ruang pertemuan tersebut sempat tegang. Eks transmigran dan kuasa hukum menuding Kepala Biro Hukum Setdaprov tidak memahami permasalahan mereka.
Ucapan dari pihak kuasa hukum dibalas nada tinggi oleh Rozani Erawadi. Dia menolak dikaitkan jabatannya sebagai Kepala Biro Hukum Setdaprov Kaltim.
“Jangan kaitkan dengan Biro Hukum untuk masalah ini. Karena ini adalah kewenangan dari pihak terkait,” tegas Rozani.
Kuasa Hukum warga menjelaskan, tahun 1973 hingga 1974, keluarga transmigran Palaran-Simpang Pasir telah mengadukan lahan yang mereka garap digunakan oleh pemerintah.
Saat itu, Pemerintah Provinsi melalui Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja belum memberikan hak-hak eks masyarakat transmigran sesuai aturan yang terdapat dalam Undang-undang.
“Undang-undang mengatur 2 hektare per KK, tetapi yang diserahkan baru 0,5 hektare, yaitu lahan perumahan. Ladang dan persawahan itulah yang belum diserahkan sampai sekarang. Mereka menuntut dari tahun 1975, makanya tidak terjadi kedaluwarsa menurut hukum. Mereka selalu menuntut haknya sampai ke Komnas HAM, sampai ke Wakil Presiden pada waktu itu agar mendapat jaminan kepastian hukum,” terangnya.
Masyarakat transmigrasi ini akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Samarinda. Hakim mengabulkan tuntutan itu.
Bahkan, kata Mariel, Kasasi yang diajukan oleh Pemprov Kaltim atas putusan tersebut ditolak di Mahkamah Agung.
“Kenapa kita melakukan gugatan? Karena Pemprov dengan Dinas Transmigrasi menyatakan mereka bersedia memberikan hak warga asal ada putusan pengadilan yang mempunyai hukum tetap. Yang kita tuntut hari ini adalah putusan inkrah itu telah ada sejak Desember 2020. Setelah inkrah itu, kita melakukan upaya aanmaning (teguran oleh pengadilan),” bebernya.
“Secara hukum, Pemprov setelah di-aanmaning sebanyak 7 kali, tapi tidak dilaksanakan dengan alasan yang kita tidak mengerti. Sehingga kita melalui hearing dengan DPRD Kaltim telah menyurati Pemprov supaya melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. Lagi-lagi tidak dilaksanakan sampai sekarang,” katanya.
Mengenai upaya lain yang akan dilakukan jika tidak ada itikad baik dari Pemprov Kaltim, Mariel menegaskan, warga akan kembali melakukan aksi unjuk rasa.
“Warga akan lebih banyak untuk menuntut, kalau upaya hukum sudah tidak ada. Kita menyita aset negara, tidak dibolehkan oleh Undang-undang karena itu aset negara. Tapi itu juga hak kita,” tegasnya.
Penulis: Ningsih
Editor: MH Amal