HEADLINEKALTIM.CO, SAMARINDA – Di bumi Kalimantan Timur, sebuah transformasi besar tengah berlangsung. Ibu Kota Nusantara (IKN), sebuah kota modern yang diimpikan, mulai menapaki jalannya di Benua Etam. Di tengah gencar pembangunan Istana Presiden dan gedung Pemerintahan Pusat, dengan beragam etnis yang akan masuk, sebuah warisan budaya lokal, bahasa Kutai, bakal diuji eksistensinya.
Namun, Awang Muhammad Rifani, sang penjaga lidah Kutai, tak ingin warisan leluhur Kaltim ini sirna ditelan arus modernisasi. Sebagai Ketua Dewan Bahasa dan Sastra Kutai, ia bagaikan komandan di medan perang budaya, bahu-membahu bersama komunitasnya, melestarikan bahasa Kutai di tanah IKN.
Kedatangan penduduk baru di IKN bagaikan ombak yang bergulung. Etnis Kutai sendiri secara regional Kalimantan hanya 2,01 persen. Di tengah lautan keragaman, bahasa Kutai — tuturan khas Benua Etam — mesti dijunjung. Awang dan timnya di Dewan Bahasa dan Sastra Kutai tak tinggal diam.
Ini bukan hanya tentang bahasa, melainkan tentang identitas, tentang warisan budaya yang tak ternilai.
Awang dan para pejuang bahasa Kutai tak gentar menghadapi tantangan. Upaya mereka diawali dengan memperjuangkan Perda tentang Perlindungan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah.
“Pemerintah wajib untuk turun tangan. Ini tugas kita bersama untuk menjaga warisan budaya bangsa,” serunya.
Upaya bersama itu membuahkan hasil. Perda tentang Perlindungan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah disusun oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Perda ini melindungi bahasa dan sastra lokal Kalimantan Timur.
Di tingkat Kabupaten Kutai Kartanegara, Awang dan timnya pun tak kenal lelah. Mereka mendorong usulan Raperda Perlindungan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Kutai kepada Pemkab Kukar melalui Disdikbud setempat.
“Kami tak henti berdialog. Kami yakin, dengan kerja sama yang kuat antarlembaga, bahasa Kutai akan berjaya di Tanah IKN,” ungkap Awang.
Tentang bahasa Kutai
Berdasarkan ulasan dari Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur, melalui buku Kamus Bahasa Kutai terbitan 2013, bahasa Kutai tergolong dalam rumpun bahasa Melayu dan memiliki hubungan erat dengan perkembangan Suku Kutai. Suku Kutai mendiami wilayah eks Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang meliputi delapan dari 10 wilayah kabupaten/kota di Kalimantan Timur minus Kabupaten Paser di Selatan dan Kabupaten Berau di Utara, sebelum akhirnya dimekarkan menjadi Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, Mahakam Ulu, Bontang, Samarinda, Balikpapan dan Penajam Paser Utara. Mereka menggunakan bahasa ini dalam penuturan di kehidupan sehari-hari.
Bahasa Kutai tidak hanya digunakan oleh Suku Kutai asli, tetapi juga menjadi lingua franca [bahasa pergaulan] suku bangsa lain yang telah lama tinggal di wilayah tersebut, baik suku bangsa asli Kalimantan ataupun suku bangsa pendatang. Hal ini menunjukkan peran penting bahasa Kutai sebagai bahasa pemersatu dan identitas budaya di wilayah tersebut.
Meski bahasa Kutai umumnya hidup dalam bentuk percakapan dan sastra lisan, seperti tarsul, protak, pantun, sa’er, ladon, dandeng, memang, sawai, dan lain-lain, terdapat pula bukti-bukti tertulis dalam aksara Jawi yang menunjukkan eksistensinya pada masa lampau. Namun, bukti-bukti tertulis tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan produk tertulis berbahasa Melayu yang menggunakan aksara Jawi pada zaman tersebut.
Perbedaan dialek bahasa Kutai yang terbagi menjadi tiga rumpun terbesar yaitu Kutai Tenggarong, Kutai Kota Bangun, dan Kutai Muara Ancalong. Perbedaan dialek bahasa disebabkan oleh faktor alam, hubungan antartempat, dan perpindahan penduduk. Perbedaan ini terlihat pada morfologi dan peristilahan yang digunakan dalam dialek-dialek tersebut.
bahasa Kutai memiliki lima rumpun dialek. Kutai Melanti, yang dikenal sebagai bahasa Melayu Kutai, merupakan dialek yang paling dominan dan digunakan di Tenggarong, Ibu Kota Kesultanan Kutai. Bahasa ini memiliki banyak kesamaan dengan bahasa Melayu karena pengaruh budaya dan perdagangan yang erat dengan Kesultanan Melayu Malaka.
Empat rumpun dialek bahasa Kutai lainnya, yaitu Kutai Kedang, Kutai Lampong, Kutai Pantun, dan Kutai Tembai, mayoritas digunakan di wilayah pedalaman Kalimantan Timur. Bahasa-bahasa ini memiliki ciri khasnya masing-masing dan mencerminkan kekayaan budaya masyarakat Kutai.
Keberagaman dialek bahasa Kutai menunjukkan kekayaan budaya dan bahasa yang dimiliki oleh Suku Kutai. Hal ini patut dilestarikan dan dikembangkan agar bahasa Kutai tetap hidup dan lestari di tengah modernisasi dan globalisasi.
Sayangnya, bahasa Kutai kini terancam punah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Kantor Bahasa Kaltim Kaltara telah merevitalisasi bahasa Kutai sejak 2022.
“Kita tak boleh diam, jika kita tak bergerak, bahasa Kutai akan hilang ditelan waktu,” tegas Awang.
Upaya pelestarian
Upaya melestarikan bahasa Kutai tak hanya dilakukan oleh Pemerintah. Masyarakat pun tak tinggal diam. Salah satu contohnya adalah pembuatan kamus online bahasa Kutai yang terinspirasi dari KBBI Daring.
“Teknologi harus dimanfaatkan, kamus online ini akan membantu masyarakat belajar bahasa Kutai dengan mudah,” tutur Awang.
Pemerintah daerah pun turut mendukung upaya pelestarian bahasa Kutai. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kukar telah menerapkan kurikulum muatan lokal bahasa Kutai di tingkat SD dan SMP sejak tahun 2022.
Generasi muda adalah kunci. Mereka dididik untuk bangga dengan bahasa Kutai dan menjadi pelestari warisan budaya ini.
Inilah pentingnya melestarikan bahasa Kutai sebagai identitas bangsa dan budaya. Pelesatrian penuturan bahasa Kutai dari rumah tak boleh dihilangkan, tidak perlu malu menggunakan bahasa Kutai. Generasi muda mesti didorong untuk berkreasi menggunakan bahasa Kutai, seperti pada ajang musik, seni budaya dan game atau kompetisi permainan modern.
“Bahasa Kutai adalah bagian dari diri kita. Tanpa bahasa ini, kita kehilangan identitas,” ujarnya.
Upaya melestarikan bahasa Kutai di tanah Ibu Kota Nusantara merupakan langkah penting untuk menjaga identitas lokal di tengah keberagaman budaya yang akan hadir dengan pembangunannya. Dukungan dari Pemerintah dan masyarakat menjadi kunci utama dalam keberhasilan upaya ini.
Di tengah geliat pembangunan IKN, bahasa Kutai — sang mutiara Benua Etam — harus tetap bersinar. Dewan Bahasa dan Sastra Kutai bersama pemerintah daerah tak henti berjuang melestarikan warisan budaya ini hingga ke jantung Nusantara.
Revitalisasi bahasa daerah
Di Kalimantan Timur, upaya pelestarian bahasa daerah terus digalakkan melalui Program Revitalisasi Bahasa Daerah yang diprakarsai oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Kantor Bahasa Provinsi Kaltim.
Program ini menitikberatkan pada tiga bahasa daerah, yakni Melayu Kutai, Paser, dan Kenyah. Ketiga bahasa ini dipilih berdasarkan pertimbangan jumlah penutur dan tingkat kerentanannya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaltim Muhammad Kurniawan memaparkan upaya revitalisasi ini tak hanya berhenti di atas kertas. Berbagai langkah konkret telah dilakukan, yakni penyusunan buku ajar, di mana buku ajar bahasa daerah untuk tingkat SMA telah disusun oleh guru-guru SMA di Kaltim dan siap digunakan di seluruh sekolah menengah di Kalimantan Timur mulai tahun ajaran 2023/2024.
Langkah konkret berikutnya, muatan lokal bahasa daerah telah diintegrasikan ke dalam struktur Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM). Selanjutnya, Kantor Bahasa Provinsi Kaltim siap bersinergi dengan perguruan tinggi dan pemerintah daerah untuk membantu implementasi Perda Bahasa Daerah.
Pendampingan dan fasilitasi diberikan dalam penyusunan peraturan daerah turunan, pengembangan muatan lokal, bahan ajar, bahan bacaan, dan pelatihan guru.
Upaya revitalisasi ini dapat membangkitkan kembali kebanggaan dan kecintaan masyarakat terhadap bahasa daerah. Hal ini penting untuk melestarikan kekayaan budaya dan identitas Kalimantan Timur, serta memastikan warisan budaya ini dapat dinikmati oleh generasi penerus.
Tak kalah penting, program ini dapat menjadi pemantik bagi pemerintah kabupaten/kota lain di Kalimantan Timur untuk menduplikasi dan merevitalisasi bahasa daerah mereka masing-masing. (ANT)