HEADLINEKALTIM.CO, MALANG- Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai keragaman suku, budaya, bahasa, dan ras. Tersebar di pulau-pulau besar maupun kecil. Dari masyarakatnya yang bercorak maritim di sepanjang wilayah pesisir hingga masyarakat agraris di pedalaman.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mempersatukan masyarakat juga merupakan perwujudan atas hal yang diyakini oleh mayoritas umat Islam di negeri ini terkait perihal Madinatul Munawwarah, kota yang bercahaya.
Komitmen negara untuk melindungi berbagai perbedaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sesungguhnya menjadi prinsip dasar dalam menjaga arus perjalanan bangsa ke depan.
Hal ini terungkap dalam diskusi daring bertema Islam Populis dan Konflik Identitas yang menghadirkan Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Robikin Emhas. Kegiatan ini diselenggarakan PC Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Malang pada Sabtu 5 Desember 2020 siang.
Robikin Emhas mengungkapkan, konsep ummatan wahidatan adalah umat yang satu dalam segi kemanusiaan. Sebab, perubahan nama Yastrib menjadi Madinah tidak membuat penduduk kota tersebut menjadi Islam sepenuhnya pada era Rasulullah SAW.
“Ummatan wahidatan bukan menunjukkan pada satu umat bernama Islam saja di Madinah, namun ada pula umat-umat agama lain. Maksud ummatan yang di dalamnya terdiri dari berbagai agama dan kebudayaan. Kala itu masih ada penganut agama Yahudi, Nasrani, hingga Majusi. Madinah pada zaman Rasulullah menunjukan masyarakat yang pluralisme, itu yang luar biasa,” ungkapnya.
Kyai yang dipercaya sebagai staf khusus Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin Bidang Politik dan Hubungan Antar Lembaga ini membeberkan, bagaimana seorang Muhammad muda sebelum stempel kenabian diembannya. Muhammad telah digelari Al-Amin oleh tokoh-tokoh dan masyarakat Makkah karena sifat yang amanah dan kejujurannya. Sosok yang terpercaya.
Ketika stempel kenabian didapatkan oleh Muhammad, lanjutnya, serta-merta semua tokoh-tokoh dan masyarakat Makkah yang telah memberikan gelar Al-Amin berbalik arah. Tidak percaya Muhammad, padahal Rasulullah tetap sebagaimana lelaki yang terpercaya.
Ketika posisi umat Islam yang minoritas pada saat itu diancam, diculik, dipersekusi bahkan hendak dibunuh, apakah Rasulullah menyerukan perlawanan dengan kekerasan? Ternyata tidak. Dia memilih hijrah dari Makkah ke Yastrib.
“Di kota perdagangan itu, dakwah terus dilakukan dan pengikut beliau semakin banyak. Yastrib menjadi kota yang bercahaya, bukan menjadi daulah islamiyah (negara islam, red). Itulah metode yang beliau lakukan, sejak dari Islam yang minoritas hingga mayoritas. Maka, harus merangkul bukan memukul, harus mengajak bukan mengejek. Untuk memperkuat itu, maka harus mendalami nilai-nilai yang kita yakini, baik aqidah hingga akhlak,” tegas mantan Ketua PP Pencak Silat Pagar Nusa 2012-2017 ini.
Persatuan dan kesatuan tidak hanya dapat dilakukan dengan menuruti kehendak mayoritas, kata dia. Jika itu terjadi, maka yang ada Indonesia menjadi negara dengan sistem totalitarian. Negara yang tidak saja menguasai aspek ekonomi dan politik di masyarakat, tetapi juga menentukan nilai baik dan buruk dari perilaku, hingga mengatur agama atau paham yang harus dianut masyarakat.
KOMITMEN NEGARA TERHADAP PERBEDAAN
Lulusan S1 Hukum Pidana Universitas Merdeka Malang (Unmer) Tahun 1993 ini, menyebutkan, komitmen negara untuk melindungi berbagai perbedaan di Indonesia adalah hal yang utama. Termasuk adanya pemaksaan kehendak atas dasar mayoritas pada minoritas.
“Penghormatan pada tetangga dan tamu, tidak diletakkan pada konteks agama, namun pada kesamaan sebagai mahluk Allah dan kemanusiaan. Prinsip tersebutlah yang mengilhami para masyayikh Nahdlatul Ulama serta lain-lain, dalam merumuskan Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia,” tuturnya.
Dibebernya, saat terjadi benturan mendasar antara kelompok Islam dan kelompok kebangsaan terkait dasar negara, sila pertama Pancasila belum mencapai kesepakatan. Ada yang menginginkan tetap menjalankan Piagam Jakarta di sila pertama, berbunyi ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Inisiatif KH Wachid Hasyim, sowan kepada Hadratussyaikh Hasyim Asyari, untuk mempertanyakan apakah boleh cukup mempergunakan ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ tanpa menyertakan isi tambahan sepeti di Piagam Jakarta.
Usai Hadratussyaikh melaksanakan istikharah, hal itu dibolehkan, mengingat konsep ketauhidan, Allah itu Esa. Lalu terjadilah kemufakatan bersama, antara kedua kelompok besar ini untuk menggunakan sila pertama Pancasila. “Jika saat itu tidak terjadi kemufakatan, tentu tidak ada Indonesia secara utuh seperti sekarang ini,” tukasnya.
Menurut Robikin Emhas, problem yang terjadi belakangan ini harus diurai. Apakah karena Pancasila, pada konstitusinya, prinsip-prinsip negaranya, atau justru pada oknum bernegara? Kalau memang oknum dalam bernegara, maka ibarat lumbung padi yang dimasuki tikus, tentu tidak boleh lumbungnya yang dibakar. Namun, bagaimana mencari tikusnya untuk menjaga keberadaan lumbung padi.
“Orang-orang banyak menawarkan ideologi berbeda, termasuk dengan para jihadis serta yang lainnya. Tawarannya menggiurkan, jika Indonesia menjadi negara Islam dengan menegakkan kekhalifahan, maka akan timbullah kesejahteraan bagi umat. Ini tentu tidak boleh dipandang sebagaimana mudahnya membalikkan telapak tangan. Karena kekhalifahan yang hendak diwujudkan sekarang ini belum tentu menghadirkan kesejahteraan. Bahkan bisa menyebabkan terjadinya kekerasan dari mayoritas pada minoritas, sebagaimana yang terjadi di berbagai belahan dunia dengan cita-cita mewujudkan kekhalifahan,” ungkapnya.
Penulis: RJ Warsa
Editor: MH Amal
Berita Terkini di Ujung Jari Anda! Ikuti Saluran WhatsApp Headline Kaltim untuk selalu up-to-date dengan berita terbaru dan Temukan berita populer lainnya di Google News Headline Kaltim